Minggu, 22 Mei 2011

Tinjauan Ekonomi Kesehatan di RSUD Cengkareng

Pendahuluan
Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan akibat dari dampak globalisasi ternyata tidak dapat diterapkan secara optimal pada negara berkembang dan menyebabkan negara tersebut menderita akibat jeratan hutang luar negeri yang membesar. Pertumbuhan ekonomi justru tidak mampu mewujudkan kesejahteraan sosial. Oleh karenanya diperlukan revisi agenda pembangunan, yakni pembangunan sosial yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan. Pembangunan ekonomi harus disertai juga dengan pembangunan sosial, keduanya harus dilakukan seiringan secara seimbang, saling mengisi, saling melengkapi dan saling memperkuat.
Midgley (1995:25) dalam Adi (2008:51) mengemukakan definisi pembangunan sosial sebagai berikut : suatu proses perubahan sosial yang tererncana untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sebagai suatu keutuhan, dimana pembangunan ini dilakukan untuk saling melengkapi dengan dinamika proses pembangunan ekonomi.
Lebih lanjut Midgley (1995:23) dalam Adi (2008:54) mengatakan pembangunan sosial adalah pendekatan pembangunan yang secara eksplisit berusaha mengintegrasikan proses pembangunan ekonomi dan sosial, seperti dua sisi koin yang saling melengkapi satu sama lain. Pembangunan sosial tidak dapat berjalan dengan baik tanpa adanya pembangunan ekonomi, sedangkan pembangunan ekonomi tidaklah bermakna (meaningless) kecuali diikuti dengan peningkatan kesejahteraan sosial dari populasi sebagai suatu kesatuan.
Terkait dengan luas lingkup dari kesejahteraan masyarakat ataupun kesejahteraan sosial, Spicker (1995:3) dalam Adi (2008:3-4) menggambarkan sekurang-kurangnya ada lima aspek utama yang harus diperhatikan. Kelima aspek ini dikenal dengan istilah “big five” yaitu : kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial. Karena alasan keterbatasan maka yang akan dibahas saat ini hanya salah satunya saja yaitu kesehatan. Hal ini sangat menarik untuk dibahas karena ada sebuah pameo mengatakan bahwa memang kesehatan bukanlah segala-galanya tetapi segala-galanya tanpa kesehatan tidak akan berarti apa-apa (meaningless). Misalnya, meskipun kita memiliki kekayaan yang berlimpah tetapi ketika kesehatan kita terganggu maka kita pun tidak bisa menikmati apa yang kita miliki tersebut. Kita juga tidak akan dapat beraktifitas secara produktif dan jika diukur secara ekonomi akan muncul opportunity cost karena hilangnya kesempatan untuk menghasilkan pendapatan.
Dalam bahasa Inggris kata ”Health” mempunyai dua pengertian dalam bahasa Indonesia, yaitu ”sehat” atau ”kesehatan”. Sehat menjelaskan kondisi keadaan dari subyek, misalnya anak sehat, orang sehat, ibu sehat dan sebagainya. Sedangkan kesehatan menjelaskan tentang sifat dari subyek, misalkan kesehatan manusia, kesehatan masyarakat, kesehatan individu dan sebagainya. Sehat dalam pengertian kondisi mempunyai batasan yang berbeda-beda. Secara awam sehat diartikan keadaan seseorang yang dalam kondisi tidak sakit, tidak ada keluhan, dapat menjalankan kegiatan sehari-hari, dan sebagainya. Menurut batasan ilmiah, sehat atau kesehatan telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai berikut : keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit dan cacat, serta produktif secara ekonomi dan sosial.
Masalah kesehatan penduduk meningkat sejalan dengan meningkatnya usia. Orang usia lanjut biasanya menderita penyakit degeneratif dan penyakit kronis. Mereka mempunyai angka morbiditas tertinggi sehingga tuntutan akan pelayanan kesehatan meningkat pula. Mereka semakin sulit mandiri dan semakin tergantung pada orang lain. Berbagai gangguan kesehatan tidak teratasi karena faktor sosial, seperti ketidaktahuan dan faktor ekonomi. Faktor sosial yang terkait dengan usia lanjut ialah ageism, suatu sistem diskriminasi yang mengandung stereotip yang menggambarkan orang usia lanjut sebagai orang yang sakit, miskin dan kesepian. Faktor sosial yang diduga merupakan penyebab utama masalah kematian ialah kemiskinan yang gawat, dan kelangkaan akses ke pelayanan kesehatan dasar.
Conyers (1991:64) mengatakan bahwa bidang kesehatan memiliki masalah yang dapat menaikkan pembiayaan pelayanan kesehatan baik dengan latar belakang sosial maupun ekonomi. Sudut pandang sosial, suatu kenaikan biaya di bidang kesehatan seharusnya bisa membantu meringankan penderitaan manusia karena penyakit dan dalam beberapa hal dapat juga menyelamatkan nyawa; sedangkan sudut pandang ekonomi, masih memperdebatkan bahwa kemajuan kesehatan akan menaikkan produktifitas tenaga kerja.
Margaret Stacey (1977) dalam Santoso (2010) mengidentifikasi tiga dimensi konsep kesehatan yaitu 1) Kesehatan yang bertumpu pada konsep kesehatan individu atau kesehatan masyarakat; 2) Konsep kesehatan yang bertumpu pada kebugaran atau kesejahteraan; 3) Kesehatan yang bertumpu pada konsep promotif dan preventif.
Ketiga konsep tersebut dikembangkan di Indonesia, hal tersebut tertuang dalam Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi.
Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat perlu didukung oleh tersedianya berbagai macam fasilitas kesehatan yang memadai, seperti sarana fasilitas kesehatan yang representatif, dan murah yang aksesnya mudah dicapai sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. Masyarakat yang sehat tentunya akan dapat melakukan aktifitas dengan kondisi yang prima sehingga produktifitasnya pun dapat terjaga.
Masalah kesehatan dapat ditinjau dari segi ilmu ekonomi kesehatan. Karena sumber daya jumlahnya terbatas, sedangkan manusia mempunyai bermacam-macam keperluan maka terjadi persaingan untuk memperoleh sumber daya yang dapat dialokasikan untuk keperluan kesehatan. Masalah pengalokasian sumber daya ke dalam maupun di dalam bidang kesehatan inilah yang dipelajari ekonomi kesehatan.
Lebih lanjut Oscar Gish (1977:8) dalam Conyers (1991:64) mengatakan bahwa persoalan penerapan kriteria ekonomi dan keuangan pada sektor kesehatan benar-benar sukar karena hakekat pelayanan yang perlu disediakan, yaitu menyangkut masalah hidup atau mati manusia.
Konsekuensinya, setiap usaha untuk memotong pembiayaan kesehatan akan menghadapi tantangan yang tidak kecil dari banyak pihak.
Pemerintah bertanggung jawab dalam merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Upaya kesehatan akan dilakukan pemerintah secara terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan melalui pencegahan penyakit (preventive), peningkatan kesehatan (promotive), pengobatan penyakit (curative), dan pemulihan kesehatan (rehabilitative). Pemerintah juga memberikan hak yang sama kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan kebebasan untuk menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan.
Pelayanan kesehatan sebagai alat penyembuhan (curative) penekanannya pada perawatan manusia yang sedang sakit dengan tujuan untuk menghindarkannya dari kematian dan mengurangi penderitaannya. Penekanan semacam ini telah direfleksikan dalam bentuk fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada, yang secara fundamental merupakan tempat di mana orang memerlukan perawatan serta terlihat juga dari cara latihan bagi tenaga-tenaga perawat kesehatan dan sikap masyarakat pada umumnya. Penekanan ini juga terlihat dari besarnya pengeluaran pemerintah bagi pelayanan kesehatan. (Conyers, 1991:65-66)
Terkait dengan UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pemerintah Daerah DKI Jakarta pun telah mengupayakan secara optimal pelayanan kesehatan. Saat ini, pada tahun 2011, terdapat 7 buah rumah sakit (salah satunya RSUD Cengkareng), 43 puskesmas tingkat kecamatan dan 276 puskesmas tingkat kelurahan yang sebarannya sangat merata di seluruh wilayah DKI Jakarta untuk melayani seluruh masyarakat DKI Jakarta dan sekitarnya.

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng
RSUD Cengkareng mulai dibangun pada tahun 2001-2002, berdiri di lahan seluas 2,6 hektar. RSUD Cengkareng disiapkan untuk menjadi rumah sakit Pemda yang dapat memberikan pelayanan yang bermutu dan profesional dengan fasilitas dan pelayanan yang dapat bersaing dengan rumah sakit swasta di Jakarta. Pelayanan rawat jalan, UGD, pelayanan apotik, laboratorium dan radiologi telah dimulai sejak tanggal 28 Oktober 2002 meskipun secara resmi RSUD Cengkareng baru dibuka peresmiannya oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Sutiyoso, pada tanggal 20 Mei 2003.
Pada tahun 2005-2006, berdasarkan Perda DKI Jakarta Nomor 14 tahun 2004, Akte Notaris Pendirian Persero dan SK Menteri Hukum dan HAM tentang pengesahan RS Cengkareng menjadi sebuah Perseroan Terbatas (PT). Tetapi kemudian pada tanggal 5 Oktober 2006, status PT RS Cengkareng dibubarkan dan menjadi Unit Pelayanan Teknis (UPT) Dinas Kesehatan yang menerapkan PPK BLUD. Beberapa hal yang berkaitan dengan BLUD diantaranya adalah :
- BLUD dibentuk oleh Pemerintah Daerah
- Kekayaan BLUD merupakan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLUD yang bersangkutan
- Seluruh pendapatan BLUD dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLUD yang bersangkutan.
- BLUD dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat/badan lain.
Sejak tahun 2007 hingga saat ini status RSUD Cengkareng sebagai LTD dengan penerapan PPK BLUD. Transisi perubahan administrasi pengelolaan keuangan dari Persero ke PPK BLUD pun akhirnya mau tidak mau harus dilakukan. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan selalu dilakukan dari tahun ke tahun oleh pihak manajemen RSUD Cengkareng melalui Kebijakan Prioritas dan Pengembangan Produk Layanan. Pada tahun 2009 RSUD Cengkareng mendapat predikat RSUD type B non pendidikan dari Kementerian Kesehatan RI.
Keunikan pada RSUD Cengkareng, mestipun rumah sakit ini milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetapi mayoritas pegawainya yaitu 95% bukan Pegawai Negeri Sipil (Non-PNS). Sedangkan yang berstatus PNS di rumah sakit ini hanya sebagian kecil saja yaitu direktur, wakil direktur, serta beberapa orang tenaga medis. Meskipun sebagian besar pegawainya bukan PNS tetapi pihak manajemen RSUD Cengkareng telah membuat formulasi sistem penggajian, insentif dan tunjangan yang sangat menarik sehingga kinerja serta profesionalitas seluruh pegawai di rumah sakit ini tidaklah diragukan. Untuk pekerjaan yang berkaitan dengan jasa kebersihan (cleaning service), keamanan (security) dan penyediaan makanan (catering) baik untuk pasien maupun pegawai rumah sakit maka pihak manajemen RSUD Cengkareng menggunakan perusahaan outsourcing.
Visi RSUD Cengkareng adalah menjadi rumah sakit terbaik di Indonesia dan terdepan di Asia Tenggara tahun 2020 dengan misi :
1) Memberikan pelayanan prima kepada seluruh masyarakat,
2) Mengembangkan manajemen rumah sakit yang profesional.
Untuk mencapai visi tersebut diatas maka selain diturunkan melalui misi yang ada maka upaya perbaikan dan pengembangan rumah sakit senantiasa dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan oleh pihak manajemen RSUD Cengkareng. Motto RSUD Cengkareng adalah upaya terbaik kami untuk kesehatan anda, dengan tetap memperhatikan nilai jujur, integritas, objektifitas, kemitraan dan unjuk kerja yang tinggi.

Rumah Sakit Berbasis Komunitas
Pada awalnya RSUD Cengkareng merupakan salah satu sarana penunjang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Sesuai lokasinya yang sangat dekat dengan bandara sehingga hal ini dapat meningkatkan status bandara. Selain itu desain gedung dan bangunan RSUD Cengkareng disiapkan untuk menghadapi bencana (disaster plan). Oleh karenanya RSUD Cengkareng ini juga dilengkapi dengan fasilitas helipad dibagian atap gedung rumah sakit untuk mobilitas helikopter dari dan ke rumah sakit.
Lokasi yang sangat dekat dengan laut juga menjadi kelebihan lain rumah sakit ini sehingga RSUD Cengkareng menjadi rumah sakit rujukan untuk pelayanan kesehatan tingkat lanjutan yang tidak bisa ditangani oleh puskesmas bagi masyarakat DKI Jakarta yang tinggal di wilayah Kepulauan Seribu.
Kemudian RSUD Cengkareng ini berlokasi sangat dekat dengan pemukiman umum yakni berada di Perumnas Bumi Cengkareng Indah sehingga keberadaan sangat membantu masyarakat sekitar bahkan masyarakat sekitar pun ikut serta menjaga dan melestarikan keberadaan rumah sakit ini karena mereka menganggap bahwa RSUD Cengkareng sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh pihak manajemen RSUD Cengkareng untuk menjadikan rumah sakit ini sebagai rumah sakit berbasis komunitas tentunya tidak dilakukan secara singkat. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan kepada masyarakat secara intensif pada akhirnya bisa berhasil dengan baik dan keberadaan rumah sakit ini benar-benar menjadi poin plus bagi masyarakat sekitar.

Indikator Pelayanan Rumah Sakit
Heriyant (2007) mengemukakan beberapa indikator-indikator pelayanan rumah sakit dimana indikator-indikator pelayanan rumah sakit tersebut dapat dipakai untuk mengetahui tingkat pemanfaatan, mutu, dan efisiensi pelayanan rumah sakit. Indikator-indikator berikut bersumber dari sensus harian rawat inap :
1. BOR (Bed Occupancy Ratio = Angka penggunaan tempat tidur)
BOR menurut Huffman (1994) adalah “the ratio of patient service days to inpatient bed count days in a period under consideration”. Sedangkan menurut Depkes RI (2005), BOR adalah prosentase pemakaian tempat tidur pada satuan waktu tertentu. Indikator ini memberikan gambaran tinggi rendahnya tingkat pemanfaatan tempat tidur rumah sakit. Nilai parameter BOR yang ideal adalah antara 60-85% (Depkes RI, 2005).
Rumus :
BOR = (Jumlah hari perawatan rumah sakit / (Jumlah tempat tidur X Jumlah hari dalam satu periode)) X 100%
2. AVLOS (Average Length of Stay = Rata-rata lamanya pasien dirawat)
AVLOS menurut Huffman (1994) adalah “The average hospitalization stay of inpatient discharged during the period under consideration”. AVLOS menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata lama rawat seorang pasien. Indikator ini disamping memberikan gambaran tingkat efisiensi, juga dapat memberikan gambaran mutu pelayanan, apabila diterapkan pada diagnosis tertentu dapat dijadikan hal yang perlu pengamatan yang lebih lanjut. Secara umum nilai AVLOS yang ideal antara 6-9 hari (Depkes, 2005).
Rumus :
AVLOS = Jumlah lama dirawat / Jumlah pasien keluar (hidup + mati)
3. TOI (Turn Over Interval = Tenggang perputaran)
TOI menurut Depkes RI (2005) adalah rata-rata hari dimana tempat tidur tidak ditempati dari telah diisi ke saat terisi berikutnya. Indikator ini memberikan gambaran tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur. Idealnya tempat tidur kosong tidak terisi pada kisaran 1-3 hari.
Rumus :
TOI = ((Jumlah tempat tidur X Periode) – Hari perawatan) / Jumlah pasien keluar (hidup +mati)
4. BTO (Bed Turn Over = Angka perputaran tempat tidur)
BTO menurut Huffman (1994) adalah “...the net effect of changed in occupancy rate and length of stay”. BTO menurut Depkes RI (2005) adalah frekuensi pemakaian tempat tidur pada satu periode, berapa kali tempat tidur dipakai dalam satu satuan waktu tertentu. Idealnya dalam satu tahun, satu tempat tidur rata-rata dipakai 40-50 kali.
Rumus :
BTO = Jumlah pasien keluar (hidup + mati) / Jumlah tempat tidur
5. NDR (Net Death Rate)
NDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian 48 jam setelah dirawat untuk tiap-tiap 1000 penderita keluar. Indikator ini memberikan gambaran mutu pelayanan di rumah sakit.
Rumus :
NDR = (Jumlah pasien mati > 48 jam / Jumlah pasien keluar (hidup + mati) ) X 1000 ‰
6. GDR (Gross Death Rate)
GDR menurut Depkes RI (2005) adalah angka kematian umum untuk setiap 1000 penderita keluar.
Rumus :
GDR = ( Jumlah pasien mati seluruhnya / Jumlah pasien keluar (hidup + mati)) X 1000 ‰

Dimensi Ekonomi dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Cengkareng
Mekanisme Pasar, Efisiensi dan Eksternalitas
Murti (2000) mengatakan bahwa masyarakat mewarisi pasokan sumber daya kesehatan terbatas. Sumber daya terlalu bernilai untuk dihamburkan begitu saja. Oleh karena itu, harus dialokasikan dengan efisien. Para ekonom dan pembuat kebijakan pada umumnya menggunakan paradigma pasar kompetitif untuk mencapai efisiensi. Dalam ekonomi kesejahteraan, dikenal dua teorema dasar. First Fundamental Theorem of Welfare Economics menyebutkan bahwa pasar kompetitif pada keadaan tertentu secara ekonomi bersifat efisien. Second Fundamental Theorem of Welfare Economics, menyatakan keadaan yang secara ekonomi efisien pada prinsipnya dapat dicapai oleh pasar kompetitif asal terdapat endowment awal yang layak.
Kondisi-kondisi yang dibutuhkan dalam model pasar kompetitif sebagai berikut :
1. Kemajemukan pelaku pasar. Kejamakan konsumen dan pemasok merupakan kondisi minimal yang dibutuhkan agar tidak ada satu pun aktor tunggal memiliki kekuatan untuk memainkan harga maupun memainkan jurnlah pasokan barang. Tidak boleh ada monopoli, oligopoli, monopsoni, kartel, dan sebagainya.
2. Tidak ada penghalang entry dan exit. Produsen baru bebas masuk pasar ketika melihat kemungkinan profit dan bebas pula keluar ketika bisnis tidak lagi menguntungkan. Pada keadaan ekullibrium tidak ada pendatang baru masuk ke industri, sebab semua perrnintaan pada saat itu sudah terpenuhi, tetapi peluang untuk masuk ke industri harus tetap ada.
3. Tak ada regulasi dari pemerintah yang menghambat. Kondisi ini memastikan bahwa tidak terdapat penghalang bagi entry dan exit. Sebagai contoh, tidak perlu ada syarat: lisensi untuk dapat ikut dalam produksi. Namun, ada kalanya pada saat yang sarna dibutuhkan regulasi pemerintah untuk mencegah perusahaan-perusahaan yang mapan agar tidak menghalangi masuknya produsen baru, misalnya regulasi dalam bentuk undang-undang antimonopoli.
4. Barang atau pelayanan bersifat homogen. Artinya, semua produsen memproduksi barang yang identik, sedemikian rupa sehingga tidak dapat dilakukan segmentasi pasar berdasarkan perbedaan barang.
5. Terdapat kesempurnaan informasi. Semua pembeli memiliki informasi lengkap tentang semua variabel-variabel relevan seperti harga-harga dan kualitas barang serta pelayanan, sehingga perusahaan tidak dapat mengenakan harga-harga barang tersebut secara berbeda karena ketidaktahuan konsumen.
Apabila kondisi-kondisi pasar kompetitif dipenuhi, tetapi tidak tercapai efisiensi, maka keadaan ini dikatakan sebagai kegagalan pasar (market failure). Salah satu penyebab kegagalan pasar adalah eksternalitas.
Sedangkan yang dimaksud dengan ekternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan. Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumber daya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.
Menurut Knapp (1984) ada empat eksternalitas pada pelayanan sosial :
- Eksternalitas Produksi
- Eksternalitas Pelayanan
- Barang Publik
- Eksternalitas Pilihan Permintaan
Selanjutnya Murti (2000) mengatakan bahwa mekanisme pasar kompetitif merupakan paradigma ideal untuk mencapai efisiensi sumber daya kesehatan. Efisiensi sumber daya secara pribadi dicapai apabila manfaat marginal sama dengan biaya marginal. Harga pasar dikatakan efisien apabila sama dengan biaya marginal. Efisiensi sumber daya secara pribadi belum tentu efisien bagi masyarakat. Sebab, ada kemungkinan sebuah barang (atau pelayanan kesehatan) memberikan eksternalitas, yakni efek langsung dari produksi atau konsumsi barang terhadap orang lain yang bukan produsen atau konsumen tersebut, yang tidak masuk dalam kalkulasi harga. Eksternalitas positif cenderung rnengakibatkan produksi dan/atau konsumsi lebih rendah dari yang optimal, Sebaliknya, eksternalitas negatif cenderung mengakibatkan produksi dan/atau konsumsi lebih banyak dari yang optimal. Adanya eksternalitas memungkinkan peran campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar, misalnya pemberian subsidi.
Salah satu contoh menarik dalam bidang kesehatan adalah penderita penyakit TBC. Penyakit ini menular. Hal ini sudah menyangkut bukan hanya kesehatan individu yang terganggu tetapi sudah menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat sehingga kegiatan penyembuhan untuk penyakit ini dianggap sebagai public good (barang publik). Oleh karenanya untuk mencegah penularan yang lebih lanjut karena mungkin si penderita tidak mampu mengobati penyakitnya dengan pelayanan kesehatan yang ada sehingga dapat menimbulkan eksternalitas berjangkitnya penyakit TBC ini ke orang lain disekitarnya maka dalam pemberian pelayanan kesehatan yang terkait dengan penyakit TBC ini ada intervensi dari pemerintah berupa pemberian subsidi untuk obat-obatan sehingga akses pelayanan pengobatan terhadap penyakit TBC ini bisa dijangkau dengan mudah oleh penderita. Hal ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan mencadangkan dana oleh sebesar 530 milyar rupiah untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu dan bekerja sama dengan 40 rumah sakit di DKI Jakarta termasuk RSUD Cengkareng.

Asuransi
Menurut Santoso (2010) cakupan asuransi amat sangat terbatas, hanya mencakup pekerja disektor formal dan keluarga mereka saja, atau hanya sekitar sepertiga penduduk dilindungi oleh asuransi kesehatan formal. Meski demikian mereka yang telah diasuransikanpun masih harus mengeluarkan sejumlah dana pribadi yang cukup tinggi untuk sebagian besar pelayanan kesehatan. Akibatnya kaum miskin masih belum memperoleh fasilitas pembiayaan secara merata sekalipun sekarang diberlakukan JAMKESDA ataupun JAMKESMAS dan masyarakat miskin masih kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang dibiayai oleh pemerintah. Dampaknya masyarakat miskin (proletariat) menerima lebih sedikit subsidi dana pemerintah untuk kesehatan dibandingkan dengan penduduk yang kaya (bourgeoisie). Sebanyak 20% penduduk termiskin dari total penduduk menerima kurang dari 10% total subsidi kesehatan, sementara seperlima penduduk terkaya menikmati lebih dari 60%.
Untuk pelayanan kesehatan berbasis asuransi di RSUD Cengkareng sudah dilakukan hal ini terbukti dengan adanya pelayanan askes center. Pelayanan asuransi kesehatan diberikan tidak hanya untuk pegawai negeri sipil (PNS) tetapi masyarakat miskin yang memiliki JAMKESMAS (jaminan kesehatan masyarakat) sebagai salah satu bentuk dari asuransi kesehatan bagi masyarakat yang tidak mampu.
Dilema penyelenggaraan asuransi dilain pihak adalah timbulnya eksternalitas dengan meningkatnya market price (harga pasar) untuk mendapatkan layanan kesehatan ini yang diakibatkan dari kemampuan perusahaan asuransi dalam meng-cover pembiayaan peserta asuransi untuk menerima layanan kesehatan yang bermutu. Hal ini tentunya akan berdampak buruk bagi masyarakat yang tidak mampu yang tidak memiliki asuransi kesehatan untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Pengenaan Pembayaran Harga/Biaya pada Konsumen (charging)
Dalam pelayanan kesehatan, karena sumber daya yang terbatas dan terjadi persaingan untuk memperoleh sumber daya tersebut maka tentu saja hal ini akan menimbulkan biaya. Menurut wikipedia, yang dimaksud dengan biaya adalah semua pengorbanan yang perlu dilakukan untuk suatu proses produksi, yang dinyatakan dengan satuan uang menurut harga pasar yang berlaku, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Biaya terbagi menjadi dua, yaitu biaya eksplisit dan biaya implisit. Biaya eksplisit adalah biaya yang terlihat secara fisik, misalnya berupa uang. Sementara itu, yang dimaksud dengan biaya implisit adalah biaya yang tidak terlihat secara langsung, misalnya biaya kesempatan dan penyusutan barang modal.
Penyakit gagal ginjal misalnya, dalam terapinya dikenal dengan nama hemodialisa atau istilah lainnya cuci darah. Dalam hal ini, sumber daya berupaya peralatan untuk melakukan terapi hemodialisa harganya pun sangat mahal. Di RSUD Cengkareng sendiri, saat ini sudah terdapat 20 alat untuk terapi hemodialisa dengan pengenaan biaya untuk terapi ini sebesar Rp 800.000,- untuk pasien baru dan untuk re-use maka biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 600.000,-
Tujuan dari pengenaan pembayaran harga/biaya (charging) menurut Knapp (1984) adalah sebagai berikut :
- Menaikkan pendapatan
- Mengurangi permintaan
- Bersegernya prioritas
- Memeriksa penyalahgunaan dan memperbaiki aturan
- Bertindak sebagai simbol

Keberatan mengenai pengenaan pembayaran harga/biaya (charging)
Masalah yang muncul kemudian adalah tidak semua orang dapat melakukan persaingan tersebut dengan membayar biaya-biaya yang muncul untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Masyarakat miskin dan tidak mampu inilah yang merupakan kelompok rentan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Minimal mereka bisa mengakses pelayanan kesehatan dasar secara baik. Oleh karenanya dalam hal ini, intervensi pemerintah sangat dibutuhkan. Untuk contoh kasus gagal ginjal di RSUD Cengkareng misalnya, dengan terapi yang harus sering dilakukan dan biaya yang dikeluarkan pasien untuk mendapatkan layanan ini untuk satu kali terapi sebesar Rp 800.000,- untuk pasien baru dan untuk re-use biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp 600.000,- tentunya ini sangat memberatkan bagi masyarakat tidak mampu. Yang menarik adalah, ternyata hampir sebagian besar penderita gagal ginjal yang melakukan terapi hemodialisa di RSUD Cengkareng merupakan masyarakat tidak mampu oleh karenanya biaya yang dikeluarkan oleh pasien telah di-cover oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan mengalokasikan dana sebesar 530 milyar rupiah.
Kontradiksi Dasar Pemberian Layanan Kesehatan Berkualitas bagi Masyarakat Tidak Mampu
Jika berbicara tentang hal ini, tentunya pada RSUD Cengkareng tidak ditemui adanya kontradiksi dasar yang muncul dalam pemberian layanan kesehatan kepada masyarakat yang tidak mampu terkait dengan sustainabilitas/keberlanjutan pemberian layanan yang berkualitas. Mengapa demikian? Karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Kesehatan telah mengalokasikan dana sebesar 530 milyar rupiah untuk meng-cover pembiayaan layanan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu yang memiliki KTP DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah bekerjasama dengan 40 rumah sakit, baik swasta maupun milik pemerintah, untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu. Tentunya hal ini juga berlaku di RSUD Cengkareng.
Pertanyaan lanjutan yang muncul adalah bagaimana jika masyarakat yang tidak mampu tersebut tidak memiliki KTP DKI Jakarta karena memang mereka berdomisili di wilayah sekitar DKI Jakarta seperti Tangerang atau Bekasi? Berdasarkan keterangan dari manajemen RSUD Cengkareng adalah mereka tetap dilayani dengan baik karena pengenaan biaya layanan kesehatannya ditagih melalui JAMKESMAS dalam hal ini Kementerian Kesehatan RI yang bertanggung jawab dalam mengelola dananya.

Penutup
Pelayanan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan sosial dalam menyelenggarakannya tentunya terkait juga dengan ekonomi. Upaya-upaya yang dilakukan dalam memberikan layanan kesehatan yang berkualitas tentunya diiringi dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini karena terbatasnya sumber daya yang ada, dilain pihak permintaan akan layanan kesehatan ini sangat banyak maka timbul persaingan untuk mendapatkannya sehingga secara prinsip ekonomi mekanisme pasar lah yang berlaku. Bagi masyarakat yang tidak mampu tentunya hal ini sangatlah memberatkan. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi pemerintah agar masyarakat yang tidak mampu dapat mengakses dengan mudah layanan kesehatan berkualitas, minimal layanan kesehatan dasar. Ketika masyarakat sehat maka tentunya hal ini akan dapat meningkatkan produktifitas masyarakat secara ekonomi maupun sosial.

Daftar Pustaka
Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas; Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers
Conyers, Diana.(1991). Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Suatu Pengantar. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Knapp, Martin. (1984). The Economics of Social Care. Great Britain : Macmillan Publishers, Ltd
Lewis, Michael Anthony dan Karl Widelquis. (2001). Economics for Social Worker : The Application of Economic Theory to Social Policy and The Human Services. New York : Columbia University Press
Murti, Bishma. (2000). Mekanisme Pasar di Sektor Kesehatan dan Eksternalitas. Medika - No. 3 Tahun XXVI, Maret 2000, Hal. 182-184
http://sanbed.blogspot.com/2010/06/pelayanan-kesehatan-di-indonesia_25.html akses 24-03-2011
http://blog.unila.ac.id/young/sosiologi-kesehatan akses 24-03-2011
http://heryant.web.ugm.ac.id/artikel2.php?id=30 akses 24-03-2011
http://www.rsudcengkareng.com akses 24-03-2011
http://kandankilmu.blogdetik.com/files/2010/01/chapter-20-eksternalitas-barang-publik.ppt akses 31-03-2011
http://nuraini.staff.umm.ac.id/files/2010/01/EKSTERNALITAS-EKSTERNALITY1.ppt akses 31-03-2011
http://www.juliancholse.co.cc/2009/11/eksternalitas-dan-macam-macam-barang.html akses 31-03-2011
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Tidak ada komentar: