Minggu, 22 Mei 2011

Teori Interaksi Simbolik

Teori ini berkaitan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan. Interaksi simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis : sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang.
Semua interaksi antar individu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Simbol yang dimaksudkan disini dapat diilustrasikan seperti benda–benda yang dimainkan anak-anak. Anak-anak secara kreatif menciptakan dunia mereka sendiri, dimana benda–benda yang dimainkan anak-anak didefenisikan dengan cara apa saja sesuai dengan apa yang mereka ingin buat. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksi simbolis mengarahkan perhatian kita pada interaksi antar individu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu. Kenyataan sosial yang muncul dari proses-proses simbol subjektif dan juga yang muncul dari interaksi-interaksi antar pribadi, dilihat sebagai suatu kenyataan yang dibangun dan bersifat simbol.
George H. Mead : Konsep Diri, Tahap Perkembangan Diri
Dalam pandangan Mead, perspektifnya merupakan perspektif behaviorisme sosial. Mead berpendapat bahwa adaptasi individu terhadap dunia luar dihubungkan melalui proses komunikasi yang berlawanan dengan hanya sekedar respons yang bersifat reflektif dari organisme itu terhadap yang rangsangan dari lingkungan. Karena alasan inilah Mead berpendapat bahwa posisinya adalah behaviorisme sosial.
Bagian diskusi dari Mead yang penting adalah hubungan timal balik antara diri sebagai obyek dan diri sebagai subyek. Diri sebagai obyek ditunjuk Mead dengan konsep ‘me’, diri sebagai subyek yang bertindak ditunjuknya konsep “I”. Hubungan antara “I” dan “me” bersifat saling tergantung secara dinamis. “I” tidak seluruhnya ditentukan oleh “me”. Sebaliknya, “I” merupakan aspek diri di mana ada ruang spontanitas dan kebebasan.
Meskipun proses belajar masyarakat berlangsung selama hidup, Mead membedakan paling kurang tiga fase yang berbeda dalam proses dimana individu belajar mengambil perspektif orang lain dan melihat dirinya sendiri sebagai obyek. Yang pertama adalah tahap bermain di mana si individu ‘memainkan’ peran sosial dari seseorang yang lain. Kedua adalah tahap pertandingan (games). Pada tahap pertandingan ada tingkat organisasi sosial yang lebih tinggi. Peserta dalam suatu pertandingan mampu menjalankan peran dari beberapa orang secara serentak dan mengorganisasinya dalam suatu keseluruhan yang lebih besar. Dalam terminologi Mead, apabila individu mengontrol perilakunya sendiri menurut peran-peran umum yang bersifat impersonal maka mereka mengambil peran dari apa yang disebut dengan istilah generalized other. Ini merupakan tahap ketiga dalam perkembangan diri.
Charles Horton Cooley : Looking-glass Self
Cooley menunjuk aspek konsep-diri dengan istilah looking-glass self. Setiap hubungan sosial dimana seseorang itu terlibat merupakan satu cerminan diri yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri.
Perasaan seseorang diperpanjang ke pelbagai kelompok dimana mereka merupakan salah satu bagiannya. Cooley mengemukakan “diri kelompok” atau “we” hanyalah suatu “I” yang mencakup orang lain. Seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan suatu kelompok dan berbicara tentang kemauan bersama, pandangan, pelayanan, atau lain-lainnya menurut “we” atau “us”.
Perasaan “we”, pengalaman tentang kesatuan antara diri dan orang lain, mula-mula muncul dalam konteks kelompok primer. Cooley melihat kelompok primer ini sebagai “wadah terbentuknya watak manusia” (nursery of human nature).
Kesatuan kelompok primer tidak hanya terdiri dari keharmonisan dan cinta tanpa sedikit konflikpun, tetapi juga merupakan dasar bagi struktur sosial yang lebih besar. Kelompok primer disebut primer dalam pengertian bahwa kelompok itu memberikan kepada individu pengalaman tenatang kesatuan sosial yang paling awal dan lengkap, dan juga dalam pengertian kelompok itu tidak mengalami perubahan dalam derajat yang sama seperti hubungan-hubungan lebih luas, tetapi merupakan suatu sumber yang termasuk permanen dari mana struktur sosial itu muncul.
Erving Goffman : Dramaturgi
Melalui pendekatan ini Erving Goffman menggunakan bahasa dan khayalan teater untuk menggambarkan fakta subyektif dan obyektif dari interaksi sosial. Konsep-konsepnya dalam pendekatan ini mencakup tempat berlangsungnya interaksi sosial yang disebut dengan social establishment, tempat mempersiapkan interaksi sosial disebut dengan back region/backstage, tempat penyampaian ekspresi dalam interaksi sosial disebut front region, individu yang melihat interaksi tersebut disebut audience, penampilan dari pihak-pihak yang melakukan interaksi disebut dengan team of performers, dan orang yang tidak melihat interaksi tersebut disebut dengan outsider.
Menurut Goffman, kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi "wilayah depan" (front region) dan "wilayah belakang" (back region). Wilayah depan adalah tempat atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu atau suatu tim menampilkan peran formal atau bergaya, bak memainkan suatu peran di atas panggung sandiwara. Sebaliknya, wilayah belakang adalah tempat atau peristiwa yang memungkinkan mereka mempersiapkan peran di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung depan (front stage) yang ditonton khalayak, sedangkan wilayah belakang ibarat panggung belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan.
Stigma, sebagaimana dikemukakan Erving Goffman, merupakan atribut yang secara mendalam mendiskreditkan. Pihak yang mendapatkan stigma lazimnya ditolak atau dijauhi masyarakat. Hal ini disebabkan stigma bergulir dari ruang sosial. Stigma muncul dalam relasi-relasi kebahasaan untuk menunjukkan garis batas yang tegas di antara pihak yang dianggap normal dan pihak lain yang dipandang tidak normal.

Penerapan dan Manfaat Teori Interaksi Simbolik
Dalam sebuah interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain.
Teori interaksi simbolik lebih banyak digunakan untuk menganalisa perilaku antar individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Teori ini lebih bersifat mikro (individu), dimana individu tersebut merupakan agen yang aktif dalam peran merubah perilakunya sendiri. Dalam melakukan sebuah need assesment atau pelayanan kepada klien, seorang pekerja sosial bisa menggunakan teori ini untuk menggali lebih dalam tentang apa yang dibutuhkan klien sehingga dengan mudah akan dicarikan pemecahan terhadap permasalahan atau kebutuhan dari klien tersebut.

Contoh Kasus dan Solusinya Teori Interaksi Simbolik
Penyandang cacat. Umumnya penyandang cacat mudah emosi, mider dan tertutup. Suatu masalah sosial utama yang dihadapi orang cacat bahwa mereka itu ‘abnormal’ dalam tingkat yang sedemikian jelasnya sehingga orang lain tidak merasa enak untuk berinteraksi dengan mereka atau tidak mampu berinteraksi dengan mereka sedemikian rupa sehingga cacat itu sendiri tidak menjadi pokok penting dalam interaksi itu.
Sebuah stigma adalah sifat apa saja yang sangat jelas dan diandaikan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kepribadian individu sehingga individu itu tidak mampu untuk bertindak menurut cara yang biasa.
Apapun sumber stigma itu, kesulitan interaksi yang dihadapi orang cacat jelas sekali. Orang yang tidak cacat diasumsikan mampu, kecuali kalau mereka memperlihatkan ketidakmampuannya, tetapi orang cacat diasumsikan tidak mampu (pada umumnya atau dalam hal tertentu) kecuali kalau mampu membuktikan kemampuannya. Jadi masalah utama dan mungkin yang paling penting bagi orang cacat adalah mengatasi asumsi negatif yang diberikan orang lain dengan memperlihatkan bahwa kecuali yang berhubungan dengan anggota badannya yang cacat itu, dia mampu berinteraksi secara normal dengan orang lain dan mengalami emosi, kebutuhan dan kepentingan secara penuh sebagai manusia yang mampu.
Solusi yang diberikan adalah kita harus terus memotivasi orang-orang yang keterbatasan secara fisik (cacat) agar mereka bisa berinteraksi secara normal dengan orang lain. Selain itu, dapat pula dikembangkan kemampuan-kemampuan lain yang dimiliki orang cacat tersebut. Peran dominan orang tua sebagai motivator sangat diperlukan. Tumbuhkan perasaan percaya diri terhadap kemampuan anaknya yang cacat sejak dini. He Ah Lee, seorang pianis cacat yang memiliki kaki dan tangan berjari tiga dari Korea telah membuktikan dirinya mampu dan piawai memainkan piano dengan begitu indahnya. Gola Gong, salah seorang penulis dari Banten yang hanya memiliki satu tangan pun membuktikan kemampuannya. Buku-bukunya pun sudah banyak yang diterbitkan. Sebagai orang tua, pada awalnya memang sangat sulit menerima kenyataan bahwa anaknya tidak sempurna. Tetapi jika berlarut dalam kesedihan dan tidak bangkit maka hal ini akan membentuk karakter dan kepribadian sang anak di masa depan. Oleh karena itu, peran orang tua sangat diperlukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak.
Selain itu, panti sosial-panti sosial untuk orang cacat pun sudah banyak. Fungsinya salah satunya adalah untuk memberdayakan orang cacat tersebut agar mereka mampu hidup secara normal ditengah-tengah masyarakat. Seperti yang telah dikatakan di atas, motivasi untuk membagun kepercayan orang cacat harus terus diberikan agar orang cacat mampu mengatasi asumsi negatif yang diberikan oleh orang lain terhadap dirinya.

Sumber Pustaka
Johnson, Doyle Paul. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid II; Diindonesiakan oleh Robert M.Z. Lawang. Jakarta : Gramedia
Robbins, Susan P., Pranab Chatterjee, Edward R. Canda. (2006). Contemporary Human Behavior Theory; Critical Perspective for Social Work; Second Edition. United States of America : Pearson Education Inc.
Wagiyo, dkk. (2007). Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Universitas Terbuka
Zastrow, Charles H., Karen K. Kirst-Ashman. (2004). Understanding Human Behavior And The Sosial Environment; Sixth Edition. United State of America : Thomson Learning, Inc.

Tidak ada komentar: