Minggu, 22 Mei 2011

Dekonstruksi dan Rekonstruksi Nilai Budaya Sunda

Kata Sunda artinya Bagus/Baik/Putih/Bersih/Cemerlang, segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/watak/karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak/karakter Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer (mawas diri), dan pinter (pandai/cerdas) yang sudah ada sejak jaman Salaka Nagara tahun 150 sampai ke Sumedang Larang Abad ke-17, telah membawa kemakmuran dan kesejahteraan lebih dari 1000 tahun. (New Kasep, 2007)
Istilah Sunda kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yakni sund atau suddha yang berarti bersinar, terang, atau putih. Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian yang sama yakni bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, dan waspada. Menurut R.W. van Bemmelen seperti dikutip Edi S. Ekadjati, istilah Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekira 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian Utara.yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Fasifik bagian Barat serta bagian Selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam (India). Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di timur, terus ke arah barat melalui pulau-pulau di kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda island), Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya, dataran ini bersambung dengan kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat dan dataran Sahul di Timur. Dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan, sedangkan Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini termasuk kedalam Provinsi Bali, Nusa Tenggara, dan Timor. Dalam perkembangannya, istilah Sunda digunakan juga dalam konotasi manusia atau sekelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Menurut kriteria pertama, seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu ataupun keduanya, orang Sunda, di mana pun ia atau mereka berada dan dibesarkan. Menurut kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda. Dalam hal ini tempat tinggal, kehidupan sosial budaya dan sikap orangnya yang dianggap penting. Bisa saja seseorang yang orang tuanya atau leluhurnya orang Sunda, menjadi bukan orang Sunda karena ia atau mereka tidak mengenal, menghayati, dan mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya Sunda dalam hidupnya. Dalam konteks ini, istilah Sunda, juga dikaitkan secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di Tanah Sunda. Dalam tata kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam “silih asih, silih asah, dan silih asuh” (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan melindungi). Di samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan (handap asor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dsb. (Kahmad, 2008)
Fakta yang terjadi dalam struktur masyarakat Sunda saat ini adalah ada sebuah pameo kumaha engke (bagaimana nanti). Sebuah prinsip yang seringkali meng-gampang-kan atau bahkan cenderung mengabaikan sesuatu hal di masa yang akan datang. Hal ini sangat bertentangan dengan karakter/watak Sunda singer (mawas diri), dan pinter (pandai/cerdas). Seharusnya sebagai orang Sunda yang sesuai dengan watak/karakter Sunda singer dan pinter dalam melakukan sesuatu hal sangat perlu merencanakannya secara matang dan baik. Segala resiko yang muncul dikemudian hari akibat keputusan yang diambil saat ini telah dipertimbangkan bahkan telah diminimalisir agar tidak merugikan. Prinsip kumaha engke (bagaimana nanti) perlu didekonstruksi lalu kemudian direkonstruksi menjadi engke kumaha (nanti bagaimana). Ada langkah-langkah dan strategi bijak yang dilakukan dalam mengambil sebuah keputusan saat ini yang akan berdampak dikemudian hari. Hasil yang diharapkan adalah dampak yang lebih baik akan didapatkan dengan sebuah strategi dan perencanaan yang matang dan baik.
Misalnya, dalam hal pelestarian lingkungan. Kita tidak boleh bilang kumaha engke (bagaimana nanti) dengan melakukan eksploitasi besar-besaran dan perusakan terhadap lingkungan demi kesenangan dan kekayaan semata sementara di masa yang akan datang anak cucu kita yang mengalami sengsara. Kita harus bijak dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungan alam. Bukankah lingkungan alam yang ada saat ini merupakan titipan yang harus kita jaga demi kelangsungan hidup generasi anak cucu kita yang akan datang? Oleh karenanya engke kumaha (nanti bagaimana) perlu diterapkan agar di masa yang akan datang tidak ada yang dirugikan dan anak cucu kita bisa melanjutkan kehidupannya secara baik.
Kearifan nilai-nilai sosial budaya lokal dalam aspek kegotongroyongan dan keswadayaan patut didayagunakan, dilestarikan, dan dikembangkan. Untuk Apa? Agar men¬jadi potensi efektif dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Nilai-nilai tersebut semestinya dapat difungsikan dengan tepat dalam meng¬atasi berbagai masalah kemiskinan dan permasalahn sosial lainnya. Keguyuban, gotong royong, dan kebersamaan haruslah senantiasa digalakan. Dalam hal apa? Tentu saja dalam melaksanakan berbagai kegiatan kemasyarakatan dan pembangunan di lingkungan tempat tinggal dengan prinsip sabilulungan (bersatu). Apa gunanya? Setidaknya guna menyelesaikan berbagai masalah sosial masyarakat. Prinsip sabilulungan ini akan terasa dan terlihat begitu indah apabila dalam setiap kegiatan seperti dalam membangun sarana dan prasarana sosial (misalnya: pem-bangunan jembatan, MCK, atau perbaikan saluran air yang dibutuhkan oleh masyarakat) dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat. Betapa indahnya, apabila spontanitas masyarakat dalam menolong anggota masyarakat lainnya yang terkena musibah, atau dalam membantu membangun rumah tidak layak huni, mewujudkan adanya lumbung desa, pengadaan dana modal bergulir bagi keluarga miskin, dan penyelenggaraan kegiatan sosial lainnya, begitu tinggi. Hal tersebut merupakan perwujudan bersama dalam pemaknaan istilah Sunda nulung kanu butuh, nalang kanu susah (membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan). Intinya, kembali memaknai dan meng¬aplikasi nilai-nilai sosial budaya (dalam hal ini aspek kegotongroyongan dan kes¬wadayaan) merupakan bentuk upaya dalam mengatasi berbagai masalah sosial yang ada.
Dapatkah hal ini diterapkan dalam tatanan struktur sosial masyarakat yang lebih tinggi? Tidak hanya sekedar di pelosok pedesaan seharusnya juga di perkotaan bahkan dalam suatu scope yang lebih besar sebuah bangsa dan negara? Tentu saja hal ini sangat memungkinkan asalkan masing-masing individu memiliki kesadaran sosial yang tinggi pula. Berbagai usaha sangat diperlukan untuk membangun serta membentuk karakter sebagai sebuah bangsa yang beradab.
Character building adalah proses atau upaya tanpa henti untuk menggali, menemukan, membangun, dan terus-menerus memperkuat nilai-nilai budaya asli/asali-domestik di bumi nusantara ini sebagai nilai dasar atau nilai kunci (key values) yang tanpanya eksistensi dan masa depan bangsa tidak dapat dipikirkan, dibayangkan atau diandaikan. (Syahnakri, 2008)

Sumber Pustaka
Sutrisno, Mudji. (2004). Ide-ide Pencerahan. Jakarta : Penerbit Obor
http://www.kasundaan.org/id/index.php?option=com_content&view=article&id=15&Itemid=26 akses 231010
http://sundaislam.wordpress.com/2008/01/11/agama-islam-dalam-perkembangan-budaya-sunda/ akses 141010
http://www.mimbar-opini.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=2808 akses 141010
http://abulamedia.com/2009/10/21/memaknai-dan-mengaplikasi-nilai-nilai-budaya-lokal/ akses 141010

Tidak ada komentar: