Minggu, 22 Mei 2011

Kebijakan Sosial Dalam Upaya Mewujudkan Kesejahteraan Sosial

Pendahuluan
Di negara manapun, kebijakan sosial selalu ada. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik. Kebijakan sosial biasanya menyangkut segala aspek dan sisi dari pemerintahan suatu negara. Kebijakan sosial terkait dengan ekonomi, politik, hukum, pembangunan dan lain sebagainya. Tujuan dari kebijakan sosial adalah untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Suatu kebijakan sosial harus dibuat secara sistematis melalui sebuah perencanaan yang baik, serta kebijakan sosial tersebut harus dibuat secara efektif dan efisien sehingga apa yang diharapkan dari kebijakan tersebut bisa terwujud dengan baik.

Definisi Kebijakan Sosial
Kebijakan sosial adalah salah satu dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. (Suharto, 2008:10)
Kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya, (Bessant, Watts, Dalton dan Smith dalam Suharto, 2008:11)
Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya, (Suharto, 2008:11).
Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial dan sistem perpajakan. Berdasarkan kategori ini maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan.
1. Peraturan dan perundang-undangan. Pemerintah memiliki kewenangan membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan.
2. Program pelayanan sosial. Sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, perlindungan sosial, dan bimbingan sosial (konseling, advokasi, pendampingan)
3. Sistem perpajakan. Dikenal sebagai kesejahteraan fiskal. Selain sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupakan instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil. Di negara-negara maju, bantuan publik (public assistance) dan asuransi sosial (social insurance) adalah dua bentuk jaminan sosial (social security) yang dananya sebagian besar dari pajak.
(Midgley dalam Suharto, 2008:11)
Dari berbagai definisi yang dikemukan dapat disimpulkan bahwa kebijakan sosial merupakan salah satu kebijakan publik serta ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya. Secara garis besar kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial dan sistem perpajakan. Berdasarkan kategori ini maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan.

Esensi Kebijakan Sosial
Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan pada kenyataannya mengabaikan aspek-aspek tertentu dalam kehidupan masyarakat. Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat, tetapi di lain pihak mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan para pekerja. Over-time yang berlebih dengan kompensasi yang kecil, sistem kerja dua atau tiga shift, pemberian cuti bersalin yang sangat singkat kepada perempuan pekerja pasca melahirkan bahkan sampai pada tahap perusakan lingkungan akibat dari eksploitasi besar-besaran ‘keserakahan’ pelaku ekonomi dalam mengejar pertumbuhan. Prinsip ekonomi yang berpatok pada modal sekecil-kecilnya untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya juga terlihat dari upah buruh/pekerja yang sangat kecil. Pelaku ekonomi berasumsi bagaimana caranya menekan seminimal mungkin biaya produksi untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya, salah satu hal yang dapat mereka lakukan adalah dengan memberikan upah kepada buruh/pekerja dengan sangat kecil. Dengan pendapatan yang sangat kecil ini, bagaimana mungkin pekerja/buruh dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarganya secara layak?
Menurut Midgley (2005), pembangunan telah terdistorsi. Pembangunan yang terdistorsi adalah ketika pembangunan ekonomi tidak sejalan, atau kurang berdampak pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat secara luas. Dengan kata lain, sebuah usaha pembangunan mengalami distorsi manakala keuntungan yang dicapai melalui pembangunan ekonomi tidak mampu, atau tidak diciptakan sedemikian rupa agar menyentuh dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dan menurunkan jumlah orang miskin secara bermakna.
Kebijakan sosial dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial sangat diperlukan. Peranan pemerintah atau negara di bidang kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial, sebetulnya dimaksudkan untuk mengusahakan adanya kesetaraan diantara warga masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraannya. Perbedaan latar belakang antar warga masyarakat seringkali mengakibatkan posisi dan kesempatan mereka tidak sama. Hal ini dapat mengakibatkan warga masyarakat yang posisinya tidak menguntungkan akan termarginalisasi dan mengalami masalah dalam mewujudkan kesejahteraannya, bahkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasarnya. Oleh sebab itu dibutuhkan peranan pemerintah untuk membantu kelompok marginal.
Untuk meminimalisir kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat, maka pemerataan melalui redistribusi kekayaan perlu dilakukan oleh pemerintah atau negara. Kebijakan sosial mutlak diperlukan dalam hal ini. Ketika kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat semakin besar maka dampak yang terjadi pun bisa semakin buruk. Tingginya angka kriminalitas bahkan isu terhangat saat ini yaitu terorisme serta friksi-friksi yang terjadi di masyarakat (tawuran, perang suku, gerakan separatis, dll) merupakan dampak dari kesenjangan sosial yang terlalu besar dalam struktur sosial di masyarakat.
Pendekatan Komparatif Di Beberapa Negara
Jika dikaitkan dengan model sistem kesejahteraan sosial di berbagai negara, sedikitnya kita mengenal empat model sistem (yang didasarkan pada alokasi anggaran) untuk kesejahteraan sosial yakni:
Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60 persen dari total belanja negara.
Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai skim jaminan sosial berasal dari tiga pihak (payroll contributions), yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh).
Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial swasta.
Keempat, model minimal yang dianut oleh gugus negara-negara latin (Prancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil) dan Asia (Korea Selatan, Filipina, Srilangka). Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari total pengeluaran negara. Dengan catatan, kecilnya anggaran kesejahteraan sosial untuk negara-negara Asia Tenggara dan Selatan nampaknya terkait erat dengan keterbatasan anggaran negara secara keseluruhan.
Dalam pembangunan kesejahteraan sosial, Indonesia jelas tidak sepenuhnya menganut negara kesejahteraan. Meskipun Indonesia menganut prinsip keadilan sosial (sila kelima Pancasila) dan secara eksplisit konstitusinya (pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan tanggungjawab pemerintah dalam pembangunan kesejahteraan sosial, namun letak tanggung jawab pemenuhan kebutuhan kesejahteraan sosial adalah tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Prinsip keadilan sosial di Indonesia terletak pada usaha secara bersama seluruh komponen bangsa dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Sehingga tidak ada yang paling utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan sosial adalah tanggung jawab pemerintah, juga masyarakat, dunia usaha dan komponen lainnya. Konsekuensinya harus terjadi saling sinergi dalam penanganan masalah sosial antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha bahkan khususnya perguruan tinggi sebagai pencetak kader bangsa. (Chamsyah, 2007)

Konteks kebutuhan Indonesia
Perubahan yang terjadi pada setiap bidang pembangunan, akan saling mempengaruhi dan berdampak terhadap perkembangan di bidang lainnya. Setiap perubahan di bidang pembangunan ekonomi secara langsung akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat, fluktuasi yang diakibatkan oleh krisis moneter, pada awal pertengahan tahun 1998, misalnya, telah menimbulkan implikasi yang luas terhadap pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Artinya, titik penting pembangunan sosial adalah mengupayakan agar berbagai masalah sosial seperti masalah kemiskinan dan keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, ketertinggalan/ keterpencilan, serta korban bencana dan akibat tindak kekerasan dapat ditangani secara terencana, terpadu dan berkesinambungan.
Upaya mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat tersebut, dapat dipandang sebagai bagian dari investasi sosial yang ditujukan untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas SDM Bangsa Indonesia, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas kehidupannya secara mandiri sesuai dengan nilai-nilai yang layak bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, implementasi strategi pembangunan sosial merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan sosial ekonomi serta berbagai kecenderungan primordialisme dan eksklusivisme yang mengancam tatanan hidup bangsa Indonesia. Jika hal ini di abaikan, maka akan mengarah pada terjadinya friksi dan konflik horizontal, sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan disintegrasi sosial yang menurunkan harkat dan martabat bangsa.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang dikeluarkan sehari setelah proklamasi, tercantum cita-cita dan tujuan nasional Indonesia. Para pendiri bangsa bertekad untuk mendirikan suatu negara yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” dengan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Dalam kaitan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR RI, 16 Agustus 2009, menyampaikan, bahwa Esensi dari program lima tahun mendatang adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penegakan keadilan. Keadilan yang lebih baik itu, ditandai dengan penghormatan terhadap praktik kehidupan yang non diskriminatif, persamaan kesempatan, dan tetap memelihara kesetiakawanan sosial dan perlindungan bagi yang lemah. Dalam Pidato Kenegaraan tersebut SBY menyampaikan tiga pilar utama dalam meyusun strategi Pembangunannya, yaitu pilar pertama, menjaga dan memperkuat kemandirian, karena kemandirian adalah dasar dari kekuatan, ketahanan, dan kemampuan untuk terus maju sebagai bangsa. Indonesia akan menjadi bangsa yang tidak didikte, baik secara politik, ekonomi, maupun militer oleh negara manapun. Pilar kedua, adalah memiliki daya saing yang makin tinggi. Dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan dan tantangan ini, bangsa yang menang dan unggul adalah bangsa yang produktif dan inovatif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, cerdas mengambil peluang, serta berani menghadapi perubahan. Dan, pilar ketiga adalah mampu membangun dan memiliki peradaban bangsa yang unggul dan mulia. Itulah sebabnya, perlu terus mempertahankan nilai, jati diri dan karakter bangsa yang luhur dan terhormat, meningkatkan semangat dan etos kerja sebagai bangsa yang kuat dan gigih, dan membangun peradaban yang menghadirkan persaudaraan dan kerukunan bangsa, serta memelihara kelestarian alam. Pada bagian lain pidatonya, berkaitan dengan pembangunan ekonomi, SBY menyampaikan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia ke depan akan memadukan pendekatan sumber daya (resources), pengetahuan (knowledge), dan budaya (culture). Ekonomi Indonesia, harus memiliki kesinambungan. Pertumbuhan ekonomi yang kita pilih dan anut adalah pertumbuhan disertai pemerataan, growth with equity, agar benar-benar membawa rasa adil. Dalam pembangunan ekonomi mendatang, pemerintahan SBY menempatkan peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, dengan berlandaskan keunggulan daya saing, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan sumber daya manusia. Ekonomi Indonesia harus tumbuh semakin tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang diciptakan adalah pertumbuhan yang inklusif, pertumbuhan yang berkeadilan, dan pertumbuhan disertai pemerataan. Dalam menjalankan kebijakan ekonomi nasional ke depan, Pemerintah akan memantapkan tujuh prioritas kebijakan yang selama ini telah kita jalankan. Tujuh kebijakan itu adalah:
1. Menjaga agar sektor riil agar terus bergerak, melalui berbagai kebijakan termasuk insentif fiskal untuk mendorong sektor riil tumbuh lebih cepat.
2. Mencegah terjadinya gelombang PHK seraya terus menurunkan angka pengangguran.
3. Menjaga stabilitas harga, terutama bahan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat.
4. Menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat, dalam bentuk penurunan tarif pajak penghasilan orang pribadi (OP), peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), penurunan harga BBM, dan pemberian BLT pada saat terjadi tekanan yang sangat berat terhadap kelompok keluarga miskin.
5. Memberikan perlindungan pada masyarakat miskin atau hampir miskin (near poor), karena salah satu fungsi negara adalah memberikan perlindungan dan menyediakan jaring pengaman sosial (social safety net) kepada masyarakat lapisan bawah.
6. Menjaga ketahanan pangan dan energi. Harga pangan harus tetap terjangkau dengan jumlah yang cukup.
7. Tetap berupaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional pada angka yang relatif tinggi, setidaknya antara 4-4,5 persen.
(Prayitno, 2009)
Dalam Pidato Kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna DPR RI, 16 Agustus 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), perihal pembangunan pro rakyat bermula dari suatu pertanyaan, untuk siapakah pembangunan dilakukan? Apakah pembangunan untuk manusia, atau manusia untuk pembangunan? Apakah pembangunan hanya untuk sekelompok tertentu saja? Dan dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, maka “Pembangunan untuk Semua” (Development for All) menjadi sebuah tema dari pidato Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada waktu itu. Pada pidato tersebut diuraikan pembangunan untuk semua mengandung pengertian bahwa negara tidak membeda-bedakan, setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Karena itu, negara harus memastikan agar tidak ada kelompok-kelompok masyarakat yang tertinggal dalam proses pembangunan. Pada hakikatnya, pembangunan suatu bangsa harus bersifat inklusif, menjangkau dan mengangkat derajat seluruh lapisan masyarakat di seluruh wilayah nusantara. Kita mesti maju dan makmur bersama, tidak maju dan makmur sendiri-sendiri. Jika kesatuan bangsa diibaratkan sebuah rantai, kekuatannya adalah pada rantai yang terlemah. Strategi “Pembangunan untuk Semua” bertujuan untuk memperkuat setiap rangkaian dalam keseluruhan rantai persatuan dan kesejahteraan bangsa. Paradigma “Pembangunan untuk Semua”, dalam konteks Indonesia, hanya dapat dilakukan dengan menerapkan enam strategi dasar pembangunan.
Yang pertama, Strategi pembangunan yang inklusif, yang menjamin pemerataan dan keadilan, yang mampu menghormati dan menjaga keberagaman rakyat Indonesia. Pembangunan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia tidak boleh diartikan secara sempit, dengan sekedar mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, apalagi bila hanya dilakukan dan dinikmati oleh sekelompok kecil pelaku ekonomi, atau oleh sedikit daerah tertentu saja.
Kedua, Berdimensi kewilayahan. Setiap provinsi, setiap kabupaten/kota, adalah pusat-pusat pertumbuhan negeri, yang harus bisa memanfaatkan segala potensi daerahnya masing-masing, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun letak geostrategisnya. Itulah sebabnya pemerintah sungguhsungguh mendorong daerah-daerah perbatasan untuk memanfaatkan peluang kerjasama pembangunan regional seperti delegasi tiga negara yang tergabung dalam Indonesia, Malaysia dan Thailand Growth Triangle (IMT-GT) dan Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Phillipine - East ASEAN Growth Area (BIMPEAGA), maupun kerjasama perbatasan dengan Australia dan Timor Leste. Pembangunan berdimensi kewilayahan juga berarti pemerintah terus mendorong setiap daerah untuk mengembangkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif masing-masing. Namun demikian, keseimbangan antar wilayah harus pula tetap dijaga sehingga tidak terjadi ketimpangan antar wilayah. Tak boleh ada satu daerah pun yang tertinggal terlalu jauh dari daerah lainya. Prinsipnya adalah, jika daerah-daerah maju maka negarapun akan maju.
Ketiga, Menciptakan integrasi ekonomi nasional dalam era globalisasi. Pembangunan nasional yang sedang dijalankan, tidak berjalan di ruang vakum. Bahkan sejak zaman kolonial, ekonomi Indonesia telah berkaitan dengan ekonomi dunia. Bedanya, pada saat itu, konteksnya adalah eksploitasi ekonomi dan sumber daya Indonesia untuk kepentingan ekonomi kolonial. Sekarang, sebagai bangsa merdeka, keterkaitannya dengan ekonomi dunia didasarkan pada kepentingan nasional dan untuk dimanfaatkan demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Strategi keempat, Pengembangan ekonomi lokal di setiap daerah, guna membangun ekonomi domestik yang kuat secara nasional. Ekonomi domestik yang kuat merupakan modal utama suatu bangsa untuk berjaya di tengah arus globalisasi. Pelajaran yang bisa kita petik dari krisis ekonomi global yang melanda dunia saat ini adalah, negara yang bisa bertahan dari dampak negatif resesi dunia adalah negara dengan ekonomi domestik yang kuat. Selain itu, ekonomi domestik yang kuat juga menjamin kemandirian suatu bangsa.
Kelima, Keserasian dan keseimbangan antar pertumbuhan dan pemerataan, atau Growth with Equity. Strategi demikian juga merupakan koreksi atas kebijakan pembangunan terdahulu, yang dikenal dengan trickle down effect. Strategi trickle down effect mengasumsikan perlunya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi terlebih dahulu, baru kemudian dilakukan pemerataan. Dalam kenyataannya di banyak negara, termasuk di Indonesia, teori ini gagal menciptakan kemakmuran untuk semua.
Keenam, Pembangunan yang menitik-beratkan pada kemajuan kualitas manusianya. Manusia Indonesia bukan sekedar obyek pembangunan, melainkan justru subyek pembangunan. Sumber daya manusia menjadi aktor dan sekaligus fokus tujuan pembangunan, sehingga dapat dibangun kualitas kehidupan manusia Indonesia yang makin baik. Untuk itu, “Pembangunan untuk Semua” selalu memberikan prioritas yang sangat tinggi pada aspek pendidikan, kesehatan, dan pendapatan serta lingkungan kehidupan yang lebih berkualitas. Yang dimaksud dengan lingkungan, di samping lingkungan hidup yang sehat dan lestari, juga adalah lingkungan sosial, politik dan keamanan yang tertib, aman, nyaman dan demokratis. (Lestari, 2009)
Usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan masyarakat diharapkan agar bukan hanya sekedar usaha belas kasihan pemerintah terhadap masyarakat miskin. Usaha-usaha tersebut seharusnya ditempatkan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar kesejahteraan warganya. Usaha-usaha yang ada saat ini masih bersifat ad-hoc, temporary (sementara) dan bernuansa ‘charity’ ketimbang sebagai usaha sistematis pemerintah yang didukung secara kuat oleh kebijakan pembangunan ekonomi. Benih-benih pembangunan sosial yang sudah dilakukan perlu lebih diperkuat dengan kerangka makro perencanaan dan kebijakan umum di bidang ekonomi dan sosial yang diarahkan secara sengaja untuk investasi di bidang peningkatan kesejahteraan rakyat sehingga upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bukan hanya utopi atau angan-angan belaka.

Sub-sektor : Pajak, Redistribusi Kekayaan Melalui Pemerataan Pendapatan
Dari dimensi dasar kebijakan sosial tentang redistribusi kekayaan pengaturan pemerintah dalam pemerataan pendapatan salah satu mekanisme yang dapat dilakukan adalah pengenaan pajak. Dari pajak yang ditarik kepada ‘golongan berpunya’ (the have), dana yang telah dihimpun dari pajak tersebut bisa digunakan untuk membantu warga masyarakat yang tergolong miskin dan tidak mampu. Dana-dana tersebut bisa digunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana umum yang bisa diakses oleh seluruh warga masyarakat ataupun dana tersebut bisa digunakan untuk program-program lainnya yang bertujuan untuk kesejahteraan warga masyarakat. Dinegara-negara maju, bantuan publik (public assistance) dan asuransi sosial (social insurance) adalah dua bentuk jaminan sosial (social security) yang dananya sebagian berasal dari pajak. (Midgley dalam Suharto, 2008:11)
Dalam hal pembagian kewenangan pemungutan/pengelolaan pajak, yaitu antara Pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pajak yang menjadi kewenangan pemerintah Daerah diantaranya adalah pajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat disebut dengan Pajak Pusat, sedangkan pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah disebut dengan Pajak Daerah. Pajak adalah bersifat memaksa, sehingga ketentuannya harus diatur dengan Undang-Undang. Berikut akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan pajak pusat dan pajak daerah.
Pajak Pusat
Ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dan berlaku bagi Wajib Pajak di Negara Indonesia. Pajak Pusat terdiri dari:
a. Pajak Penghasilan
Jenis Pajak ini diatur dalam UU No. 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 tahun 2008
b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM)
Diatur dalam UU No. 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 18 tahun 2000
c. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Diatur dalam UU No. 21 tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 20 Tahun 2000
d. Bea Materai
Diatur dalam UU No. 13 tahun 1985
Pajak Daerah
Pajak Daerah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34 tahun 2000 kemudian diubah kembali dengan UU No. 28 tahun 2009. Dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 28 tahun 2009 disebutkan pengertian pajak daerah.
“Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “
Adapun pembagian pajak daerah sesuai Pasal 2 UU No. 28 tahun 2009 adalah :
a. Jenis Pajak Provinsi
• Pajak Kendaraan Bermotor;
• Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
• Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
• Pajak Air Permukaan; dan
• Pajak Rokok.
b. Jenis Pajak Kabupaten/kota
• Pajak Hotel;
• Pajak Restoran;
• Pajak Hiburan;
• Pajak Reklame;
• Pajak Penerangan Jalan;
• Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
• Pajak Parkir;
• Pajak Air Tanah;
• Pajak Sarang Burung Walet;
• Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
• Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Daerah dilarang memungut pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada butir (a) dan butir (b). Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada butir (a) dan butir (b) dapat tidak dipungut apabila potensinya kurang memadai dan/atau disesuaikan dengan kebijakan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pemerintah pusat menetapkan dua dasar untuk pemerintah daerah dalam usaha mereka untuk meningkatkan PAD:
a. Pemerintah daerah tidak boleh membuat peraturan daerah (PERDA) yang cenderung dengan “biaya besar”. Dalam penjelasan, pemerintah pusat mendefinisikan sebuah PERDA yang cenderung memakan biaya besar sebagaimana pengaturan pajak dan pungutan pada objek yang diperuntukkan sebagai pajak oleh pemerintah pusat dan provinsi, mengakibatkan penurunan dalam persaingan daerah.
b. Pemerintah daerah tidak boleh membuat peraturan daerah (PERDA) yang menghambat mobilitas seseorang, perdagangan barang dan jasa, dan aktivitas ekspor dan impor. Sebagai contoh adalah setiap retribusi untuk memasuki kota dan pajak/retribusi pada perpindahan barang dari satu daerah ke daerah lain.
Sehubungan dengan banyaknya PERDA-PERDA bermasalah, Menteri Keuangan meminta Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan beberapa peraturan daerah yang sudah dilaporkan dan dievakuasi pemerintah pusat karena dianggap berpotensi menimbulkan masalah. Perda dianggap bermasalah jika ditemukan terjadi tumpang tindih dengan kebijakan pemerintah pusat, pengenaan Retribusi yang lebih bersifat sebagai pajak atau bertentangan dengan prinsip retribusi, menghambat arus barang, modal, dan manusia, serta menjadikan biaya kegiatan ekonomi lebih mahal. Berdasarkan Intruksi Menteri Keuangan No.1/MK0.10/2004, daerah diminta memberikan laporan kepada pemerintah pusat atas setiap perda yang dikeluarkan.
Dasar penetapan pajak daerah sudah jelas sebagaimana tercantum di atas, pemerintah pusat juga sudah menetapkan dua dasar untuk pemerintah daerah dalam usaha mereka guna meningkatkan PAD maka sudah seharusnya pemerintah daerah mengikuti aturan yang ada agar tidak terjadi ketimpangan kewenangan antara pusat dan daerah sehingga harmonisasi antara pusat dan daerah bisa terlaksana. Hal ini diperlukan agar penghimpunan dana-dana dari pajak bisa dilakukan secara optimal, sehingga pemerintah bisa melakukan intervensi melalui kebijakan sosial dalam upaya redistribusi kekayaan melalui mekanisme pemerataan pendapatan.

Penutup
Masalah kesejahteraan sosial tidak terlepas kaitannya dengan kebijakan sosial. Sebagai bagian dari kebijakan publik dalam menangani isu-isu publik yakni mengatasi masalah sosial dan pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak maka negara perlu melakukan intervensi dengan membuat ketetapan pemerintah. Dalam menangani masalah sosial yang ada maka kebijakan sosial harus dilakukan secara terencana, terpadu, terus menerus dan konsisten. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kebijakan sosial memjadi aspek yang diperhatikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial.
Upaya-upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bukan hanya menjadi tanggung jawab negara sebagai lembaga pembuat kebijakan. Hal ini merupakan tanggung bersama semua pihak-pihak yang terkait, dalam hal ini adalah negara (pemerintah), industri (perusahaan) dan masyarakat secara luas (LSM, NGO, dll) sehingga kesejahteraan sosial dapat tercapai dengan baik.
Usaha-usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan masyarakat diharapkan agar bukan hanya sekedar usaha belas kasihan pemerintah terhadap masyarakat miskin. Oleh karena itu diperlukan kerangka makro perencanaan dan kebijakan umum di bidang ekonomi dan sosial yang diarahkan secara sengaja untuk investasi di bidang peningkatan kesejahteraan rakyat sehingga upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bukan hanya utopi atau angan-angan belaka.

Sumber Pustaka
Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas; Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Pers
Midgley, James. (2005). Pembangunan Sosial; Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta : Diperta Islam Depag RI
Suharto, Edi. (2008). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung:Alfabeta
Prayitno, Ujianto Singgih. (2009). Tantangan dan Agenda Pembangunan Sosial : Pemenuhan Hak Dasar Masyarakat. Jakarta : P3DI Setjen DPR RI
Lestari, Tri Rini Puji. (2009). Tantangan Pembangunan Kesehatan : Menuju Kebijakan Kesehatan Yang Pro Rakyat. Jakarta : P3DI Setjen DPR RI
http://kebijakansosial.wordpress.com/2010/01/29/definisi-kebijakan-sosial/ akses 091010

Tidak ada komentar: