Rabu, 14 Desember 2011

Penyelenggaraan Good Governance di Indonesia

Pendahuluan
Reformasi birokrasi (administrasi negara) dan good governance merupakan dua konsep utama bagi perbaikan kondisi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Kedua konsep ini merupakan konsep yang saling terkait satu sama lainnya dan bukanlah merupakan konsep yang relatif baru. Namun demikian, sampai saat ini dan bahkan sampai tahun-tahun mendatang kedua konsep tersebut akan sangat berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Semangat reformasi yang terjadi beberapa tahun ke belakang dan hingga saat ini di Indonesia telah mewarnai pendayagunaan aparatur negara dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan, dengan mempraktekkan prinsip-prinsip good governance. Selain itu, masyarakat menuntut agar pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan mampu menyediakan public goods and services sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara.
Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan issu yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi negara dewasa ini. Tuntutan yang dilakukan oleh masyarakat karena hal ini sejalan dengan meningkatnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak lagi sesuai bagi tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan ini merupakan suatu hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Konsep dan Definisi Good Governance
Dalam kamus, istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah juga adalah nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 1125 tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam konteks pengelolaan organisasi korporat dan lembaga pendidikan tinggi. Wacana tentang “governance” dalam pengertian yang hendak kita perbincangkan pada pertemuan hari ini -- dan yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan -- baru muncul sekitar 15 tahun belakangan ini, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional mempersyaratkan “good governance” dalam berbagai program bantuannya. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, term “good governance” telah diterjemahkan menjadi penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tatapemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih.
Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance” terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan” berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaran berbagai otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, partisipatif dan kemitraan. Mungkin difinisi yang dirumuskan IIAS adalah yanag paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the process whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact policies and decisions concerning public life, economic and social development.”
(Effendi, 2005)

Prinsip-prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Prinsip-prinsip good governance yang diajukan oleh UNDP diuraikan sebagaimana berikut :
1. Participation
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingannya. Partisipasi ini dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta berpartisipasi secara konstruktif.
2. Rule of Law
Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, terutama hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
3. Transparency
Tranparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Prose-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dipantau.
4. Responsiveness
Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.
5. Concensus Orientation
Good governance menjembatani kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
 6. Equity
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Effevtiveness and Efficiency
Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Accountabilty
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Strategic Vision
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif good governance dan pembangunan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Pilar - Pilar Good Governance
Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut :
1.        Negara : Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil; Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan; Menyediakan public service yang efektif dan accountable; Menegakkan HAM; Melindungi lingkungan hidup; Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik
2.        Sektor Swasta : Menjalankan industri; Menciptakan lapangan kerja; Menyediakan insentif bagi karyawan; Meningkatkan standar hidup masyarakat; Memelihara lingkungan hidup; Menaati peraturan; Transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakat; Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM
3.        Masyarakat Madani : Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi; Mempengaruhi kebijakan publik; Sebagai sarana cheks and balances pemerintah; Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah; Mengembangkan SDM; Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat

Penyelenggaraan Good Governance di Indonesia : Era Pemerintahan SBY-Boediono
Agenda besar yang dihadapi pemerintahan SBY-Boediono pada periode 2009-2014 adalah bagaimana mampu mewujudkan Good Governance pada tataran implementatif dan bukan retorik semata. SBY dalam kepemimpinan nasional selama ini masih dihadapkan pada persepsi bahwa SBY  masih lebih banyak bermain politik pada ranah retorika ketimbang tindakan yang nyata dan cepat untuk mengatasi masalah di lapangan.
Dari kasus-kasus besar yang menyangkut elite seperti kasus Bank Century, kasus Bibit-Chandra,  kasus Cicak melawan Buaya, kasus Antasari hingga pada kasus yang menimpa rakyat kecil seperti kasus Prita Mulyasari, kasus Mbah Minah “mencuri”  buah kakao, dan sebagainya adalah  merupakan fenomena  gunung es yang masih sangat besar potensi masalahnya karena sesungguhnya persoalan pada kenyataannya masih sangat banyak terjadi di sekitar kita.  Ini semua merupakan agenda kebijakan besar yang sekaligus juga tantangan besar bagi upaya-upaya pemerintahan SBY-Boediono dalam mengelola pemerintahan di periode kedua SBY ini.
Banyak agenda-agenda yang harus dilakukan oleh pemerintahan SBY-Boediono dalam konteks mewujudkan good governance. Agenda-agenda tersebut antara lain:
1.    Agenda pemberantasan korupsi, merupakan salah satu tantangan yang paling berat bagi pemerintahan SBY-Boediono beserta kabinetnya. Fenomena Markus “makelar kasus” merupakan pekerjaan rumah yang tidak ringan bagi pemerintahan SBY-Boediono.
2.    Agenda pemberantasan kemiskinan, merupakan salah satu tugas pokok yang harus dijalankan dalam rangka perwujudan good governance di era pemerintahan SBY-Boediono. Pemerintahan yang efektif tentu harus menempatkan pemberantasan kemiskinan sebagai upaya utama dalam policy mainstream dan konsentrasi kebijakan publiknya.
3.    Agenda reformasi birokrasi ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. 
4.    Agenda peningkatan pelayanan  publik merupakan salah satu tindaklanjut dari reformasi birokrasi.  Program-program  reformasi pelayanan publik harus diteruskan dalam pemerintahan ini agar efektivitas dan efisiensinya tercapai. Program-program tersebut antara lain, seperti, OSS (One Stop Services),  mekanisme pengaduan, standard kompetensi jabatan,  pelayanan pertanahan, dan sebagainya.
5.    Agenda pelayanan hukum yang fair, adil dan setara merupakan salah satu agenda besar pemerintahan SBY-Boediono yang harus diprioritaskan. Kasus  hukum yang menimpa Mbah Mina di Kabupaten Banyumas dengan “pencurian” 3 (tiga) buah kakao, Basar Suyanto dan Kholil, dua orang petani di Kabupaten Kediri dengan tuduhan mencuri 1 (satu) buah semangka, dan kasus hukum Prita Mulyasari sesungguhnya merupakan suatu sindiran hukum terhadap proses peradilan di Indonesia yang tidak fair.
6.    Agenda peningkatan partisipasi efektif dalam sosial, politik dan ekonomi. Artinya pemerintah harus memberikan terobosan dan peluang yang lebih inovatif, yang lebih memungkinkan partisipasi masyarakat dan sektor privat agar lebih berkembang secara efektif dan efisien.
7.    Agenda peningkatan kualitas demokrasi dan lembaga-lembaga politik.
Partai politik dan lembaga-lembaga produk proses politik dan pemilu seperti halnya DPD, DPR, DPRD kabupaten-kota harus didorong dan didukung kapasitasnya sehinga benar-benar menjadi lembaga perwakilan rakyat yang memang harus menyalurkan aspirasi rakyat.
8.    Agenda peningkatan efektivitas otonomi daerah. Dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah didalam penyelengaraan otonomi daerah.
9.    Agenda pemberdayaan perempuan dan kelompok terpinggirkan menjadi pusat perhatian penting yang harus diprioritaskan oleh pemerintahan SBY-Boediono. Program-program pemberdayaan perempuan ini diantaranya adalah: peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga perwakilan, peningkatan pendidikan, dan perlunya affirmative actions yang memang betul-betul dibutuhkan oleh kaum perempuan.
(Susiatiningsih, 2010)

Penutup
Sampai saat ini, upaya mencari potret atau sosok pemerintahan yang ideal masih menjadi isu paling menarik. Pemerintahan yang ada, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif masih dinilai kurang memiliki kinerja untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan merespons perkembangan situasi baik di dalam maupun di luar negeri. Lembaga eksekutif atau birokrasi yang semula dibentuk untuk memecahkan masalah-masalah publik, justru kemudian menjadi sumber masalah dari pemecahan masalah-masalah publik itu sendiri karena cenderung mengidap penyakit birokrasi (bureaupathologies). Oleh karenanya, salah satu kunci untuk menciptakan good governance adalah suatu kepemimpinan nasional yang memiliki legitimasi dan dipercayai oleh masyarakat.

Daftar Pustaka

Effendi, Sofian. (2005). Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance. Disampaikan dalam Lokakarya Nasional Reformasi Birokrasi Diselenggarakan Kantor Menteri Negara PAN 22 September 2005
Effendi, Taufiq. (2007). Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good Governance. Sekretariat Negara RI
Eko, Sutoro. Mengkaji Ulang Good Governance. Tidak diketahui tahun publikasi.
Hardjasoemantri, Koesnadi. (2003). Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia. Makalah Untuk Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003
Keban, Yeremias T. (2000) “Good Governance” dan “Capacity Building” sebagai Indikator Utama dan Fokus Penilaian Kinerja Pemerintahan. Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
Krina P., Loina Lalolo (2003). Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi. Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Jakarta - Agustus 2003
Kurniawan, Teguh. (2006). Hambatan dan Tantangan Dalam Mewujudkan Good Governance Melalui Penerapan E-Government di Indonesia. Disampaikan dalam Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006, Jurusan Teknologi Informasi Universitas Pasundan dan ITB, Bandung, 18 Februari 2006.
Mohamad, Ismail. et. all. (2001). Akuntabilitas dan Good Governance; Modul 1 dari 5; Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Jakarta : Lembaga Administrasi Negara
Pramusinto, Agus. (2006). Building Good Governance In Indonesia Cases of Local Government Efforts to Enhance Transparency. Paper yang dipresentasikan pada Eropa Conference: Modernising the Civil Service Reform in Alignment with National Development Goals, Bandar Seri Begawan Brunai Darussalaam, 13-17 November 2006
Prasojo, Eko dan Teguh Kurniawan. (2008). Reformasi Birokrasi dan Good Governance : Kasus Best Practices dari Sejumlah Daerah di Indonesia. Dipresentasikan dalam The 5th  International Symposium of Jurnal Antropologi Indonesia. Banjarmasin, 22-25 Juli 2008
Susiatiningsih, Hermini. (2010). Menakar Good Governance Di Era Pemerintahan Sby-Boediono 2009-2014.
Sutiyoso. (2009). Bangun Good Government and Good Governance untuk Meraih Masa Depan Indonesia. Sekretariat Negara RI
Wiratraman, R. Herlambang Perdana. (2007). Neo-Liberalisme, Good Governance Dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum Jentera XV, Januari-Maret 2007

Selasa, 25 Oktober 2011

Killer Statement

Ada sebuah istilah komunikasi negatif dalam Kecerdasan Emosional yang disebut killer statement. Apa itu killer statement? Gampangnya, killer statement itu adalah segala bentuk pernyataan kita yang kita keluarkan, sadar maupun tidak, tetapi melukai dan mampu merusak mental maupun semangat orang lain.

Jenis-jenis killer statement ini, tanpa sadar kita dengar setiap hari, atau barangkali tanpa sadar kita keluarkan dengan maksud bercanda, memotivasi, tapi justru merusak. Nah, kalimat-kalimat perusak jiwa yang menghasilkan perasaan yang negatif pada diri seseorang itulah yang seringkali kita sebut killer statement.

Menariknya, sejarah dunia komik pun pernah mencatat akibat buruk dari killer statement yang pernah diterima oleh dua anak bernama Jerry Siegel dan Joe Shuster. Kisahnya begini. Di masa depresi yang melanda Amerika pada 1933, Jeery Siegel mempunyai ide menciptakan seorang tokoh pahlawan anak-anak yang mempunyai kemampuan luar biasa.

Tenaganya lebih kuat dari besi, bisa terbang dan asalnya dari planet lain. Maka, bersama dengan temannya yakni Joe Shuster yang pandai melukis, diciptakanlah untuk pertama kalinya gambaran manusia baja tersebut. Tetapi gambaran komik manusia super itu tidaklah begitu menarik. Kecaman dan kritikan diterima.

Selama enam tahun berturut-turut komiknya pun ditolak sana-sini. Hingga akhirnya, puncak kehancuran mental Siegel dan Shuster terjadi saat mereka mendengar ada editor dari Detective Comics yang membutuhkan komik strips. Lantas mereka pun mencoba menjual kepada mereka.

Tapi, saat membuka-buka dan menlihat gambaran komik mereka, para editor pun tertawa dan berkata, "Wah, nggak akan ada yang percaya dengan ide komik seperti ini. Gambarnya murahan dan tak mungkin laku dijual". Maka, karena sudah terlalu frustrasi dengan penolakan dan kalimat yang menghancurkan itu, Shuster dan Siegel akhirnya sepakat menjual komik serta segala hak ciptanya kepada Detective Comics hanya senilai US$130.

Perhatikan baik-baik, hanya seharga US$130 ! Tapi, itulah kesalahan terbesar Siegel dan Shuster akibat terlalu mendengarkan killer statement yang diterimanya. Karena, beberapa saat setelah komiknya dibeli, karakter komiknya ternyata menjadi pujaan. Anda pasti bisa menebak. Itulah tokoh Superman, manusia Krypton dengan kemampuan terbang, penglihatan super serta kekuatan fisik yang luar biasa.

Komik Superman menjadi begitu laris, hingga difilmkan, karakternya menjadi tokoh idola anak-anak. Sementara Shuster dan Siegel, penciptanya yang pertama, hanya bisa gigit jari. Tokoh Superman menjadi populer dan meraup keuntungan miliaran dolar AS. Tapi tokoh penciptanya hanya mendapat US$130, bahkan hidup dalam utang dan kemiskinan.

Untungnya, pada 1975 setelah mendapatkan tekanan bertubi-tubi dari publik yang menganggap Detective Comics tidak berperikemanusiaan dengan membiarkan pencipta Superman hidup dalam miskin, akhirnya Detective Comics sepakat memberikan jaminan finansial. Tetapi, kalau kita melihat kembali, itulah harga dari sebuah killer statement yang telah menghancurkan karir dan kehidupan dua orang bocah bernama Shuster dan Siegel.

Pembaca, kisah ini kiranya membuat kita sadar akan bahaya dari killer statement dalam hubungan interpersonal kita. Memang, kadang killer statement ini diucapkan tidak dengan intensi yang negatif, tapi dampaknya, sungguh merusak! Namun, bisa juga killer statement ini diucapkan dengan maksud khusus untuk menjatuhkan mental orang yang mendengarnya.

Tip penting

Untuk itu, ada beberapa tip penting bagi kita. Pertama, hati-hati dengan killer statement yang mungkin kita ucapkan baik kepada anak kita, pasangan hidup kita, rekan kerja maupun bawahan kita. Killer statement ini menunjukkan bahwa kalimat yang diucapkan tanpa pertimbangan, bisa membunuh potensi, kemampuan maupun karakter baik seseorang.

Karena itu, kalaupun Anda sedang stress, sedang tidak dalam kondisi mood untuk bicara, merasa tidak puas dengan hasilnya, ataupun merasa tidak suka dengan apa yang Anda saksikan, usahakan untuk menghindari menggunakan kalimat yang bernada menghancurkan atau mencela.

Kedua, kita sendiri sebagai orang yang akan dan biasa menerima killer statement dari orang-orang di sekitar kita, lebih baik kita siapkan anti virus bagi kita sendiri. Anti virus ini berisi kalimat lain yang kita ucapkan pada diri kita sendiri, meskipun orang lain sudah mengatakan killer statement itu kepada kita.

Dalam workshop Kecerdasan Emosional yang kami lakukan, salah satu latihan yang kami berikan adalah dengan menggunakan kalimat penguatan positif yang cepat menetralkan meskipun orang lain telah mengatakan hal yang buruk kepada Anda.

Menariknya, juga di salah satu acara kontes menyanyi, ada seorang penyanyi kodang yang sudah tua, tapi diundang menjadi tamu untuk juri. Saat itu ada seorang penyanyi yang mendapat penilaian buruk dan akhirnya tersingkir. Saat sebelum mundur, si penyanyi tua ini memberikan nasihat, "Jangan pedulikan hasil penilaian ini buatmu. Yang penting adalah kuatkanlah dirimu terus. Sayapun tidak pernah menjuarai kontes menyanyi, toh dengan kegigihan, saya bisa menjadi seorang penyanyi. Teruslah berlatih dan buktikan dirimu bisa berhasil". Wow, mata saya berkaca-kaca mendengar motivasi dari sang artis dan bintang penyanyi tua ini.

Sungguh suatu kata-kata penguatan yang luar biasa. Andapun harus mengatakan hal yang sama kepada diri Anda, saat Anda diberikan kata-kata negatif ataupun killer statement. Ingatlah pembaca, jangan sampai potensi dan kemampuan Anda dirusak oleh kata-kata dari kalimat orang yang tidak bertanggung jawab. Merekalah yang sebenarnya punya masalah dengan diri mereka. Jangan biarkan mereka merusak diri Anda. Jangan biarkan mereka mencuri mimpi Anda.

Sumber: Killer Statement oleh Anthony Dio Martin

dari sebuah email yang dikirimkan oleh krisna.rahmantya@medifarma.biz

Senin, 24 Oktober 2011

Permasalahan Polusi



Semua orang tidak menyukai polusi. Kebanyakan dari kita memiliki ketertarikan tentang permasalahan lingkungan, hampir setiap orang menginginkan agar ada sesuatu hal yang bisa dilakukannya untuk menyelesaikan hal tersebut, meskipun kecil dan sedikit, tetapi kita tidak begitu yakin apa yang dapat kita lakukan. Faktanya, kita lebih menyukai menambah permasalahan dengan berpikir sederhana bahwa sedikit polusi yang kita lakukan bagaikan seperti memasukkan sesuatu dalam keranjang.



Apa itu Polusi?

Masalah polusi utamanya berasal dari penggunaan lingkungan oleh produsen dan konsumen dengan membuang sisa-sisa kegiatan. Kita penuhi lingkungan dengan kaleng, kertas dan sisa residu lainnya dari kegiatan konsumsi dan produksi sehingga mencemari lingkungan. Kita buang emisi dari kendaraan bermotor dan pabrik ke atmosfir sehingga mencemari udara. Kita membuang kotoran dan residu dari produksi baik secara langsung atau tidak ke saluran air, sungai maupun danau sehingga mencemari air. 

Segala sisa-sisa dari kegiatan produksi dan konsumsi yang dibuang ke lingkungan sebenarnya secara alami mengalami proses daur ulang. Proses daur ulang adalah mengubah sisa-sisa kegiatan menjadi bahan baku yang dapat digunakan kembali. Hal ini tentunya membutuhkan durasi waktu yang berbeda-beda pada tiap-tiap proses daur ulang yang terjadi. Misalnya hewan menggunakan oksigen (O2) dan menghasilkan sisa karbon dioksida (CO2). Di lain pihak tumbuhan menggunakan karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen (O2).

Ketika proses ini terganggu, misalnya dengan meningkatnya sisa-sisa dari kegiatan produksi dan komsumsi yang sangat banyak sehingga tidak selesai didaur ulang atau proses daur ulang tidak terjadi secara cepat bahkan sama sekali tidak terjadi daur ulang maka hal ini akan memunculkan polusi. Hal ini karena kapasitas/daya dukung lingkungan tidak sanggup menampung sisa-sisa kegiatan yang mengalami kegagalan proses daur ulang tersebut.



Bentuk Polusi
Polusi udara, emisi gas berbahaya dari kegiatan industri, kendaraan bermotor, pembakaran sampah, dll : karbon monoksida, karbon dioksida (CO2), sulfur oksida, nitrogen oksida, hidro karbon, chlorofluorocarbon (CFC), metan, asam nitrat, dll à efek gas rumah kaca, global warming  dan climate change
Polusi air, sisa pembuangan kegiatan industri berupa limbah beracun (mercury, dll), penggunaan air untuk pendinginan (penstabilan suhu) peralatan industri, laut digunakan tempat pembuangan sisa nuklir, bawah laut digunakan uji coba ledak nuklir à berkurangnya kadar  oksigen dalam air, mengancam kehidupan hayati dalam air
Polusi tanah, sisa kegiatan penggalian pertambangan yang kemudian dibuang menutupi permukaan tanah, sisa sampah industri dan rumah tangga yang dikumpul dan terakumulasi menjadi sangat banyak (tempat pembuangan sampah) à alih fungsi tata guna lahan



Tinjauan Ekonomi pada Polusi

Polusi muncul karena faktanya tidak seorang pun memiliki hak kepemilikan terhadap lingkungan yang terkena polusi dan karakteristik dikonsumsinya secara bersama-sama lingkungan yang terkena polusi. Oleh karenanya tidak ada biaya yang dikenakan karena seseorang melakukan pencemaran lingkungan dengan membuang sisa-sisa kegiatannya.

Pada proses polusi terhadap lingkungan, pengotor (polluter) seringkali membebankan/mencurahkan biaya kepada pihak lain sehingga memunculkan ekternalitas negatif. Biaya yang dibebankan ke pihak lain harus dikeluarkan secara lebih besar pada saat memanfaatkan lingkungan yang terkena polusi untuk membuatnya layak pakai ketimbang lingkungan itu bebas polusi. Sehingga muncul in-efisiensi dan mis-alokasi pemanfaatan sumber daya dan lingkungan. Dilain pihak, selain hal-hal tersebut di atas, ternyata dan tidak dapat kita pungkiri bahwa kegiatan polusi yang bersumber dari kegiatan produksi telah menimbulkan benefit atau ekternalitas positif berupa sebuah peradaban atau civilization. Kita mengenal bahkan menggunakan misalnya saja sarana komunikasi, sarana transportasi, dan lain-lain.



Biaya Mengontrol Polusi

Pengontrolan polusi juga membutuhkan biaya karena harus ada sumber daya baik tenaga kerja maupun modal yang disediakan khusus untuk membuat dan mengoperasikan peralatan anti polusi pada sebuah pabrik. Jadi, nilai dari barang dan jasa yang dihasilkan haruslah sudah mempertimbangkan biaya aktifitas pengontrolan polusi yang dilakukan.



Keuntungan Mengontrol Polusi

Keuntungan dari mengontrol polusi terdiri dari peningkatan kondisi kesehatan anggota masyarakat sebagai hasil dari aktifitas pengontrolan polusi tersebut.



Tingkatan yang Sesuai dalam Mengontrol Polusi

Masyarakat harus memilih antara tingkatan penggunaan sumber daya dalam memproduksi barang dan jasa dengan tingkat kebersihan dari lingkungannya. Jika masyarakat telah mengalami tingkat polusi yang tinggi maka mereka akan bersedia untuk mengorbankan beberapa kuantitas dari barang dan jasa yang diproduksi untuk mendapatkan beberapa tingkatan pengontrolan polusi. Jadi tingkatan yang tepat untuk mengontrol polusi ditentukan dengan menimbang keuntungan dan biaya yang harus dikeluarkan. Jika keuntungan dari pengontrolan polusi yang kemudian dirasakan masyarakat ternyata jauh melampaui biaya yang dikeluarkan maka aktifitas pengontrolan polusi seharusnya ditingkatkan.



Apa Yang Dapat Dilakukan Terhadap Polusi

a.    Kontrol Langsung

Cara yang sederhana untuk mengontrol polusi adalah melalui pemerintah dengan melarang setiap aktifitas polusi. Jika fosfat mencemari air maka larang penggunaan fosfat pada setiap sabun cuci. Jika DDT mencemari air dan tanah maka larang penggunaan DDT, dst. Metode ini seperti yang dilakukan di Amerika melalui agen pemerintah Environmental Protection Agencies (EPA) yang bertugas mengontrol langsung untuk mengurangi berbagai aktifitas polusi.

Ada tiga masalah yang timbul dengan cara / metode kontrol langsung ini, yaitu kontrol langsung seolah telah menduga sebelumnya bahwa badan pembuat aturan telah dapat menentukan secara ekonomis seberapa jauh tingkat polusi yang diinginkan. Masalah kedua adalah kesulitan yang dihadapi pembuat aturan dalam mencapai alokasi efisien dari polusi yang diizinkan dari setiap pelaku polusi. Masalah ketiga adalah memaksa standar emisi ketika sudah ditentukan seperti apa standar itu seharusnya.

b.    Kontrol Tidak Langsung

Sangat dimungkinkan bagi pemerintah untuk mengontrol berbagai jenis polusi dengan penerapkan pajak pada setiap aktifitas polusi. Hal ini akan membujuk para pelaku polusi untuk mengurangi jumlah polusi dibuat. Hal ini akan dilakukan apabila jumlah pajak yang diterapkan melampaui biaya marjinal dari membersihkan dampak polusi yang dibuat.

c.    Hak Kepemilikan Individu

Polusi yang dilakukan dapat dikontrol dengan menjual hak atau menetapkan apa yang menjadi objek polusi (misalnya sungai) pada hak kepemilikan individu kemudian mengizinkan mereka menjual hak polusi pada pihak yang mungkin menjadi pelaku polusi lainnya.

Analisa Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2008

Deskripsi Program BLT
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tertuang amanat konstitusi, bahwa upaya penanggulangan kemiskinan, merupakan perlindungan segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan  umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan  kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satu  kebijakan  pembangunan kurun  waktu 2004–2009 seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah  meningkatkan kesejahteraan  rakyat yang diantaranya  memuat target menurunkan kemiskinan dari 16,7 persen pada tahun 2004 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Target tersebut akan berhasil jika daya beli penduduk terus dapat ditingkatkan secara berkelanjutan.
Berbagai aspek penting, yang melatarbelakangi perlunya penanggulangan kemiskinan, antaralain aspek kemanusiaan, aspek ekonomi, aspek sosial dan politik serta aspek keamanan.
Kemiskinan merupakan masalah yang sangat komplek, baik dari faktor penyebab  maupun  dari  dampak  yang  ditimbulkan.  Ditinjau  dari  penyebab, kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal   antara  lain  keadaan  individu  yang  bersangkutan, keluarga  atau komunitas masyarakat dipandang dari rendahnya pendidikan dan pendapatan. Adapun penyebab dari faktor eksternal yakni kondisi sosial, politik, hukum dan ekonomi.
Pembangunan  yang  berorientasi  pada  kepentingan  masyarakat  bawah yang  jumlahnya  sangat  besar,  membutuhkan  pembiayaan  yang  meningkat setiap tahun  dalam alokasi APBN. Namun demikian, kendala pembiayaan yang dihadapi saat ini  adalah membengkaknya subsidi BBM sebagai akibat dari meningkatnya harga minyak mentah di pasar internasional.  Jika subsidi tersebut  tidak  dapat  dikendalikan  akan  mengganggu  pelaksanaan  program pembangunan  ke  depan  khususnya  yang  menyangkut  kehidupan  sebagian besar penduduk.
Keputusan menaikkan harga BBM dalam negeri pada Juni 2008 diambil karena biaya subsidi BBM dalam negeri meningkat sangat pesat dengan naiknya harga minyak mentah dunia yang akhir-akhir ini mencapai di atas US$ 120 per barel. Jika tidak dilakukannya penyesuaian harga BBM dalam negeri, APBN yang merupakan salah satu pilar perekonomian menjadi tidak berkelanjutan. Hal ini menyebabkan runtuhnya kepercayaan pasar yang pada gilirannya berakibat pada merosotnya perekonomian nasional.
Ironinya, Subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpendapatan menengah dan atas. 20% masyarakat kelompok terkaya menikmati hampir 50% subsidi BBM. Sementara 20% masyarakat termiskin hanya menikmati 5,15% subsidi BBM. Selain itu dengan semakin besarnya subsidi BBM mengakibatkan berbagai program untuk masyarakat miskin menjadi tidak mungkin dilaksanakan. Tabel  berikut  menunjukkan  distribusi penggunaan subsidi BBM.
Tabel Distribusi Penggunaan Subsidi BBM tahun 2008

Kelompok Pendapatan
Distribusi Subsidi BBM (%)
APBN-P 2008 (Trilyun Rp)
1
2
3
20 % Teratas
48,44
61,42
20 % Kedua Teratas
22,48
28,50
20 % Menengah
15,16
19,22
20 % Kedua Terbawah
8,77
11,12
20 % Terbawah
5,15
6,53
Jumlah
100,00
126,80
Sumber :  Bambang Widianto (2008 : 2) dalam Iqbal (2008)

Perkembangan kenaikan harga minyak pada Juni 2008 menyebabkan besaran subsidi mulai mengusik prinsip keadilan. Kenaikan harga   BBM   disadari   akan berdampak secara berantai pada kenaikan harga barang-barang pokok sehari-hari  sehingga  akan  berpengaruh  pada  penurunan  daya  beli sebagian  besar masyarakat  khususnya rumah tangga dengan pendapatan rendah atau rumah tangga miskin.
Seandainya penyesuaian tidak dilakukan keadaan perekonomian justru akan bertambah buruk dan yang paling terkena adalah masyarakat yang paling miskin. Dampak kenaikan harga BBM dalam negeri akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Namun demikian pemerintah bertekad untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat yang berpenghasilan rendah terutama masyarakat miskin melalui program kompensasi, yang berupa : (1) peningkatan program kemiskinan yang bersifat jangka panjang seperti PNPM, program keluarga harapan, program JAMKESNAS, program penyediaan beasiswa, program pelayanan KB bagi PUS, Program KUR dan program lain yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. (2) Program Kompensasi jangka pendek yaitu program Bantuan Langsung Tunai (BLT), perluasan program raskin, program penjualan minyak goreng bersubsidi dan program pasar beras murah untuk buruh, PNS Gol I/II, tenaga honorer serta Tamtama TNI/Polri.
Bersamaan dengan keputusan  pemerintah menaikkan hargaa BBM pada Juni 2008 maka pemerintah kembali melaksanakan program BLT melalui Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2008 (Inpres 3/2008) tanggal 14 Mei 2008 tentang pelaksanaan program Bantuan Langsung Tunai untuk  Rumah  Tangga  Sasaran  (RTS).        Program  BLT  ini  memberikan  Rp 100.000,- per bulan dimulai pada bulan Juni berakhir di bulan Desember tahun 2008, selama tujuh bulan.
Sebelumnya pada tahun 2005–2006, Pemerintah pernah memberikan BLT kepada Rumah Tangga Miskin (RTM) akibat kenaikan harga BBM pada bulan Oktober tahun 2005. Program pemberian BLT tahun 2005 berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2005 (Inpres 12/2005) yang dikeluarkan pada tanggal 10  September 2005 tentang Bantuan Langsung  Tunai  kepada rumah  tangga  miskin. Program  ini  ditujukan  untuk  mengurangi  dampak negatif kenaikan harga BBM pada kalangan yang paling miskin.
Program ini bersifat temporer, dan diarahkan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan ketergantungan dan tidak mendorong menguatnya the culture of poverty. Program BLT dirancang sebagai pengganti kenaikan biaya hidup yang akan  terjadi jika harga BBM dinaikkan. Karena itu, besaran BLT dihitung sebagai   kenaikan  biaya  hidup  penduduk  miskin  karena  kenaikan  harga (inflasi)  yang diakibatkan  langsung  maupun  tidak  langsung  oleh  kenaikan harga BBM. Program  BLT tahun 2005 tersebut  telah dilaksanakan  selama satu tahun pada periode 2005 – 2006.  BLT disalurkan kepada rumah tangga miskin sebesar Rp 100.000,- per bulan yang diterimakan per triwulan sebesar Rp 300.000,-.
Tabel Beberapa Perbedaan BLT 2005 dan BLT 2008
No
Uraian
BLT 2005
BLT 2008
1
2
3
4

1

Dasar Peraturan
Inpres no: 12 tahun
2005
Inpres no: 3 tahun
2008

2

Penerima Manfaat
Rumah Tangga Miskin
(RTM)
Rumah Tangga
Sasaran (RTS)
3
Jumlah Bulan
12 bulan
7 bulan
4
Periode Pembayaran
4 kali
2 kali

5
Nominal
Pembayaran

Rp 300.000,-/periode
Rp 300.000,-
dan Rp 400.000,-
6
Verifikasi Data
BPS
PT. Pos Indonesia
Sumber :  BPS tahun 2006 dan Departemen Sosial 2008


Data dasar yang digunakan untuk BLT tahun 2008 adalah data untuk pelaksanaan BLT tahun 2005-2006. Dan terus mengalami pemutakhiran data dasar yang digunakan mencerminkan keadaan tahun 2006. Setelah itu BPS melakukan pemutakhiran data di 1000 kecamatan berkaitan dengan program keluarga harapan (PKH). Di samping itu, PT Pos melakukan penyesuaian sehubungan dengan adanya rumah tangga sasaran yang berpindah alamat, meninggal dunia atau tidak mengambil uang tunai pada program BLT 2005-2006. Selanjutnya pemutakhiran data melalui sensus rumah tangga sasaran akan segera dilakukan oleh BPS.
Tujuan program BLT tahun 2008 bagi RTS dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM, adalah: (1) membantu masyarakat miskin agar tetap  dapat memenuhi kebutuhan  dasarnya, (2) mencegah penurunan  taraf kesejahteraan   masyarakat   miskin   akibat   kesulitan   ekonomi,  dan (3) meningkatkan tanggung jawab sosial bersama. (Depsos, 2008)
Penerima BLT adalah rumah tangga sasaran sebanyak 19, 1 juta RTS hasil  pendataan BPS,   yang meliputi rumah tangga sangat miskin (poorest), rumah tangga miskin (poor), dan rumah tangga hampir miskin (near poor) di seluruh wilayah Indonesia.
Secara umum, strategi yang dilaksanakan berkaitan penyaluran dana BLT   kepada  RTS  sebagaimana  yang  tercantum  dalam  Petunjuk  Teknis Penyaluran Program BLT Departemen Sosial RI, adalah seperti skema sebagai berikut :
Skema Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Kepada Rumah Tangga Sasaran (RTS)
Sumber :  Departemen Sosial RI (2008 : 15)

Tahapan  yang  dilaksanakan  berkaitan  dengan  penyaluran  dan  BLT adalah :
  1. Sosialisasi program BLT, dilaksanakan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Sosial, bersama dengan Kementerian/Lembaga di Pusat bersama-sama pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, aparat kecamatan, dan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat (Karang Taruna, Kader Taruna Siaga Bencana (TAGANA),  Pekerja        Sosial Masyarakat (PSM), Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat).
  2. Penyiapan data RTS dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik.   Daftar nama  dan alamat yang telah tersedia disimpan dalam sistem database BPS, Departemen Sosial, dan PT. Pos Indonesia.
  3. Pengiriman data berdasarkan nama dan alamat RTS dari BPS Pusat ke PT. Pos Indonesia.
  4. Pencetakan  Kartu  Kompensasi  BBM  (KKB)  berdasarkan  data  yang diterima oleh PT. Pos Indonesia.
  5. Penandatanganan KKB oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia.
  6. Pengiriman KKB ke kantor pos seluruh Indonesia.
  7. Pengecekan kelayakan daftar RTS di tingkat desa/kelurahan.
  8. Penerima   program   Keluarga   Harapan   juga   akan   menerima   BLT, sehingga dimasukkan sebagai RTS yang masuk dalam daftar.
  9. Pembagian   KKB   kepada   RTS   oleh   petugas   pos   dibantu   aparat desa/kelurahan,  tenaga  kesejahteraan  sosial  masyarakat,  serta  aparat keamanan setempat jika diperlukan.
  10. Pencairan BLT oleh RTS berdasarkan KKB di Kantor Pos atau di lokasi-lokasi  pembayaran  yang  telah  ditetapkan  untuk  daerah-daerah  yang terpencil/sulit   menjangkau  Kantor  Pos. Terhadap  Kartu  Penerima dilakukan pencocokan dengan Daftar Penerima (Dapem), yang kemudian dikenal sebagai Kartu Duplikat.
  11. Pembayaran terhadap penerima KKB dilakukan untuk periode Juni s.d Agustus  sebesar  Rp  300.000,-  dan  periode  September  s.d  Desember sebesar Rp  400.000,-. Penjadwalan  pembayaran untuk setiap periode menjadi kewenangan PT. Pos Indonesia.
  12. Jika kondisi penerima KKB tidak memiliki identitas sebagai persyaratan kelengkapan  verifikasi  proses  bayar,  maka  proses  bayar  dilakukan dengan verifikasi bukti diri yang sah (KTP, SIM, Kartu Keluarga, Surat Keterangan dari Kelurahan, dll).
  13. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyaluran BLT oleh Tim terpadu.
  14. Pelaporan bulanan oleh PT. Pos Indonesia kepada Departemen Sosial. 
Sumber : Departemen Sosial (2008 : 11 – 13)

                Pelaksana  Program  Bantuan Langsung Tunai bagi RTS adalah  Departemen  Sosial selaku  Kuasa  Pengguna Anggaran dibantu oleh pihak-pihak  terkait yang telah ditetapkan dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai Untuk Rumah Tangga Sasaran.
Penyaluran BLT-RTS merupakan suatu bentuk kerjasama  yang didasarkan  pada fungsi dan tugas pokok masing- masing, sehingga masing-masing lembaga bertanggung- jawab terhadap kelancaran bidang tugas masing-masing. Bentuk kerjasama ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penyaluran dana BLT-RTS kepada kelompok sasaran sehingga pemanfaatannya menjadi lebih optimal. Untuk meningkatkan sinergi pelayanan yang maksimal, maka masing-masing lembaga saling berkoordinasi.
Dalam  pelaksanaan   Program  BLT-RTS  difasilitasi penyediaan Unit Pelaksana Program BLT (UPP-BLT) dari tingkat pusat sampai dengan kecamatan. Berikut ini struktur organisasi program BLT :

   Struktur Organisasi Program BLT
Sumber : Depsos (2008 : 17)

Menurut Wynandin Imawan (2008) dalam Iqbal (2008) Program Bantuan Langsung Tunai merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia  dari sekian  banyak program penanggulangan kemiskinan yang terbagi menjadi tiga klaster.   Program Bantuan Langsung Tunai masuk dalam klaster I, yaitu Program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Termasuk  dalam klaster I adalah Program Beras Miskin (Raskin), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JamKesMas),  dan Program Bea Siswa.
Menurut  Wynandin  Imawan  (2008)  dalam Iqbal (2008) selain  melaksanakan  klaster  I, Pemerintah Indonesia  juga  melaksanakan program pengentasan kemiskinan lainnya   yang   termasuk   dalam   klaster   II   yaitu   Program   Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).  Termasuk dalam klaster II ini adalah PNPM Pedesaan (PPK),  PNPM   Perkotaan  (P2KP),  PNPM  Infrastruktur  Pedesaan  (PPIP), PNPM Kelautan (PEMP), dan PNPM Agribisnis (PUAP).
Pelaksanaan klaster III yaitu Program  Pemberdayaan Usaha Menengah Kecil (UMK), termasuk di dalamnya Program Kredit UMKM, dan Program   Kredit  Usaha  Rakyat  (KUR).                
Adapun skema penanggulangan kemiskinan seperti pada gambar berikut :

Skema Penanggulangan Kemiskinan  


Sumber :  Imawan (2008 : 2) dalam Iqbal (2008)


Analisa Program BLT
Beberapa dimensi yang harus diperhatikan dalam menganalisa kebijakan kesejahteraan sosial, diantaranya :
1.     Penerima manfaat dari kebijakan kesejahteraan sosial
Kepada siapa kebijakan atau program kesejahteraan ini diperuntukkan. Semua warga negara karus mempunyai kesempatan yang sama dan diperlakukan secara adil.
Penerima manfaat dari BLT 2008 adalah Rumah Tangga Sasaran (RTS) sebanyak 19,1 juta RTS hasil  pendataan BPS,   yang meliputi rumah tangga sangat miskin (poorest), rumah tangga miskin (poor), dan rumah tangga hampir miskin (near poor) di seluruh wilayah Indonesia. Data dasar yang digunakan untuk BLT tahun 2008 adalah data untuk pelaksanaan BLT tahun 2005-2006.
Sementara itu, menurut Martaja yang dimuat dalam Harian Suara Pembaruan edisi 10 Juni 2008, data angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappenas sudah kedaluwarsa, sehingga tak akurat lagi untuk memonitor jumlah penduduk miskin di Indonesia. Analisis penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Tanah Air pascakenaikan harga BBM  2008 bertambah 4,5 juta jiwa, sehingga yang tadi- nya sebanyak 37,2 juta jiwa kini sudah mencapai 41,7 juta jiwa. Penyaluran dana kompensasi BBM ini memang rawan penyelewengan/penyalahgunaan, sehingga banyak keluarga RTS yang tidak mendapat BLT. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gelombang aksi protes dari keluarga RTS serta kericuhan yang bisa terjadi di berbagai tempat.
2.     Ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh penerima manfaat kebijakan kesejahteraan sosial
Perlu adanya penetapan kriteria bagi penerima manfaat seperti status perkawinan, status pekerjaan, kondisi tempat tinggal, jumlah anggota keluarga, tingkat kecerdasan, kondisi kesehatan, usia, latar belakang pendidikan, etnik, gender, status diabilitas, tingkat pendapatan dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan Rumah Tangga Sasaran (RTS) pada program BLT tahun 2008 adalah rumah tangga yang masuk dalam kategori Sangat Miskin (poorest), Miskin (poor) dan Hampir Miskin (near poor). Hanya saja dalam petunjuk teknis penyaluran BLT yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial tahun 2008 tidak dijelaskan secara detail kategori-kategori tersebut diatas seperti apa kondisinya. Sehingga tidak terdapat gambaran yang utuh tentang apa yang dimaksud dengan kriteria yang telah ditentukan bagi penerima manfaat dalam hal ini RTS kategori Sangat Miskin (poorest), Miskin (poor) dan Hampir Miskin (near poor).
3.     Strategi pelaksanaan kebijakan kesejahteraan sosial
Bagaimana cara mendistribusikan atau menyalurkan program kesejahteraan sosial. Dimensi ini akan dipengaruhi oleh siapa yang akan menerima manfaat dari program kesejahteraan sosial dan tipe pelaksanaan seperti apa yang akan didapatkan oleh mereka.
Untuk strategi pelaksanaan penyaluran program BLT tahun 2008 telah dituangkan dalam petunjuk teknis penyaluran BLT yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial tahun 2008 sebagaimana telah kami gambarkan pada deskripsi program di halaman sebelumnya tulisan ini. Mekanisme penyaluran BLT tahun 2008 dimulai dari database RTS 2005/2006 yang dikeluarkan oleh BPS sebanyak 19,1 juta. Kemudian data ini dikirim ke Posindo untuk melakukan pencetakan Kartu Kompensasi BBM (KKB) BLT. Selanjutnya KKB BLT ini dikirim ke kantor pos seluruh Indonesia. Disisi lain Depsos melakukan penyediaan dana BLT yang selanjutnya dana tersebut diserahkan ke kantor pos melalui BRI.  Langkah selanjutnya dilakukan pengecekan kelayakan daftar RTS di tingkat desa/kelurahan oelh kantor pos. Lalu pembagian BLT oleh petugas pos dibantu aparat desa/kelurahan, dalam proses ini ada beberapa ketentuan diantaranya adalah  Membatalkan/menahan kartu bagi RTS yang pindah, meninggal (tanpa ahli waris), tidak berhak (inclusion error); Kartu yang dibatalkan boleh diberikan kepada rumah tangga yang berhak/layak (exclusion error), tidak melebihi yang dibatalkan; Rumah tangga pengganti harus sama atau lebih miskin dari rumah tangga yang telah dinyatakan layak; Jumlah kuota kartu per desa/kelurahan harus tetap/berkurang (total nasional ≤ 19,1 juta); Daftar RTS yang dibatalkan dan penambahan RTS yang baru, harus dilegalisir oleh kades/lurah dan tahapan selanjutnya adalah proses pencairan dana BLT yang dilakukan oleh RTS di kantor pos terdekat dari domisili RTS.
4.     Pembiayaan pelaksanaan kebijaksanaan kesejahteraan sosial
Dimensi ini lebih melihat cara pembiayaan suatu pelaksanaan kebijakan kesejahteraan sosial. Pembiayaan ini juga tergantung dari tingkat/level pemerintah.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Pelaksana  Program  Bantuan Langsung Tunai bagi RTS adalah  Departemen  Sosial selaku  Kuasa  Pengguna Anggaran dibantu oleh pihak-pihak  terkait yang telah ditetapkan dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai Untuk Rumah Tangga Sasaran.
Pembiayaan penyaluran dana BLT bersumber pada APBN yang dimasukkan dalam DIPA Departemen Sosial, pada prosesnya Menteri Sosial menunjuk pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk mengelola anggaran berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).  Selanjutnya PT Pos Indonesia membuka rekening giro utama di Kantor Cabang BRI Jakarta untuk menampung dana BLT untuk RTS dari kas negara atas permintaan Departemen Sosial selaku Kuasa Pengguna Anggaran. Kantor Pos merupakan unit pelaksana teknis PT Pos Indonesia yang ditunjuk sebagai pihak yang menyalurkan dana BLT kepada RTS. . Kemudian kantor pos membuka rekening giro di Kanca BRI untuk menampung pelimpahan dana BLT untuk RTS dari rekening giro utama. Kanca BRI merupakan Kantor Cabang Bank Rakyat Indonesia seluruh Indonesia yang mengelola giro kantor pos yang menampung dana BLT untuk RTS.
Selanjutnya agar suatu kebijakan kesejahteraan sosial dapat berjalan atau didistribusikan dengan baik maka harus menjunjung asas keadilan (justice). Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan :
1.     Equality
Equality menekankan pada kesamaan hak, sehingga kita harus memperlakukan orang dengan sama. Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama dalam mengelola dan memperoleh sumber daya.
Pada pelaksanaan program BLT tahun 2008 ini masih belum memperhatikan equality, hal ini tergambar dari tidak semua kelompok rumah tangga miskin mendapat hak yang sama dalam memperoleh penyaluran dana BLT.  Salah satunya seperti yang dialami warga Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Sumut. Dikabarkan sebanyak 248 keluarga rumah tangga miskin (RTM) di sana tidak mendapatkan BLT (Suara Pembaruan, 3/06/08).
Sasaran dari program BLT tahun 2008 ini hanya sebayak 19,1 juta dimana data tersebut diperoleh dari BPS berdasarkan data pelaksanaan program BLT tahun 2005-2006. Sementara itu menurut Martaja yang dimuat dalam Harian Suara Pembaruan edisi 10 Juni 2008, data angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappenas sudah kedaluwarsa, sehingga tak akurat lagi untuk memonitor jumlah penduduk miskin di Indonesia. Analisis penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Tanah Air pascakenaikan harga BBM  tahun 2008 bertambah 4,5 juta jiwa, sehingga yang tadi- nya sebanyak 37,2 juta jiwa kini sudah mencapai 41,7 juta jiwa.
Munculnya keluarga-keluarga bukan kategori miskin, namun dianggap miskin dan benar-benar bisa menikmati BLT menjadi persoalan lain dalam pelaksanaan penyaluran dana BLT. Ironinya, pada pelaksanaan BLT tahun 2005, banyak kasus telah membuktikan adanya oknum pegawai negeri yang bisa "meraih" BLT lantaran mereka dekat dengan oknum kelurahan atau petugas pencatatan
2.     Equity
Equity menekankan pada memperlakukan orang secara adil/sama. Orang akan mendapatkan reward sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan atau distribusikan pada masyarakat.
Pada pelaksanaan program BLT tahun 2008 ini masih belum memperhatikan equity, seharusnya kelompok RTS sebagai penerima manfaat dari program ini diperlakukan secara adil tanpa ada embel-embel dibelakang perlakuan tersebut, hal ini terlihat dari beberapa kasus penyimpangan yang terjadi pada saat penyaluran dana BLT. Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia  Coruption Watch (ICW), Ratna Kusumaningsih, mensinyalir terdapat 12 kriteria modus  penyimpangan penyaluran BLT tersebut. Belasan kriteria tersebut antara lain, pemotongan dana BLT,  pungutan uang BLT kepada Rumah Tangga Sasaran (RTS), pungutan kupon BLT, pengendapan dana BLT, salah sasaran, dengan melibatkan antara lain, kepala desa, aparat desa, camat  serta  Kantor Pos dan Giro.
Pemotongan BLT berkisar sekitar Rp 10.000 hingga Rp 50.000. Seperti yang terjadi pada 2005, sebagian oknum petugas kelurahan atau aparat desa yang melakukan pendataan telah "menjual jasa"-nya kepada keluarga RTM. Menurut mereka, tanpa campur tangannya maka keluarga miskin setempat tak bisa menerima BLT. Didorong perasaan tidak enak hati, banyak keluarga RTM terpaksa memberikan "imbalan jasa" kepada oknum aparat desa/ kelurahan. Oknum petugas mungkin akan bernegosiasi dengan keluarga RTM, kemudian uang BLT dibagi dua dengan petugas. Model kecurangan semacam ini biasanya dilakukan di balik layar.
3.     Adequacy
Adequacy menekankan adanya keinginan untuk menyediakan suatu standar sistem kesejahteraan sosial dari sisi fisik dan spiritual.
Penyediaan suatu standar dalam pelaksanaan program BLT memang sangat diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan pada saat program tersebut dilaksanakan. Penguatan sarana fisik dalam melaksanakan penyaluran dana BLT harus dilakukan agar tidak terjadi kisruh pencairan dana akibat desak-desakan sehingga menimbulkan friksi baru di masyarakat sehingga emosi yang terjadi. Pada pelaksanaan program BLT tahun 2008 ini pun belum terlihat adanya prinsip adequacy karena faktanya masih terjadi kekisruhan tersebut.
Pada penerapan program BLT tahun 2008 ini tentunya terjadi gap. Diantaranya disebabkan oleh :
1.     Komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah yang tidak lancar
Kekisruhan terjadi pada implementasi program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dikucurkan oleh pemerintah pusat, dimensi kekisruhan lahir tidak hanya di level akar rumput (masyarakat), namun telah meluas menjangkau hubungan kelembagaan pemerintahan, khususnya antara pusat - daerah - (termasuk melibatkan) pemerintahan desa. Trend terbaru berupa penolakan atau keberatan terhadap program BLT, secara mengejutkan, muncul dari internal pemerintahan sendiri, tercermin dari penolakan sejumlah pemerintah kabupaten/kota atas program tersebut. Jikapun tidak menolak, sejumlah kabupaten/kota secara berani mengajukan persyaratan tertentu kepada pemerintah pusat sebelum BLT tersebut dibagikan.
Pada level pemerintahan desa, secara berani dan tegas kepala desa yang tergabung dalam Parade Nusantara menyatakan untuk tidak mau terlibat dalam penyaluran BLT. Alasan keengganan sejumlah pemerintah propinsi, kabupaten/kota dan desa tersebut terutama dikarenakan; 1) basis data masyarakat miskin yang dipandang out of date, 2) kekhawatiran pemimpin politik di tingkat lokal bahwa BLT justru akan merusak pranata di masyarakat dan 3) potensi konflik di tingkat akar rumput yang berimplikasi pada membengkaknya biaya sosial yang mesti ditanggung masyarakat. Trend penolakan dari institusi pemerintahan tersebut sontak membuat pemerintah pusat kalang kabut, hal ini
tercermin dari sikap Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, yang secara eksplisit menyatakan akan menindak tegas pejabat daerah yang menghalang-halangi implementasi program BLT.
Reaksi dari pemerintah pusat yang menanggapi aspirasi sejumlah daerah dengan logika hirarkisme kekuasaan tersebut tentu saja sangat disayangkan dan justru menunjukkan bahwa sistem BLT tersebut sejatinya mengandung potensi kekacauan sistemik. Cara pemerintah pusat memandang bahwa penolakan daerah tersebut adalah bentuk pembangkangan daerah atas pemerintah pusat adalah logika yang keliru. Dalam skema tata hubungan pemerintahan, BLT dan bentuk crash programme lainnya bisa dikategorikan sebagai kewenangan pemerintah pusat yang diselenggarakan di daerah.
Dari sisi lain, upaya penolakan sejumlah pemerintah daerah termasuk pemerintah desa untuk menyalurkan dana BLT kemasyarakat sebenarnya sudah disertai dengan alasan logis, terlebih jika kita melihat bagaimana kekacauan pelaksanaan (implementasi) program BLT sebelumnya (tahun 2005-2006). Hal yang selalu terdengar dari penerapan program tersebut adalah tidak tepatnya sasaran, penelusuran kesalahan selalu berujung kepada tidak akuratnya data keluarga di Indonesia.
Dalam pelaksanaan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) posisi daerah sebenarnya berada dalam kerangka asas perbantuan. Dari sisi sistem dan hubungan kelembagaan pemerintahan, daerah memang memiliki kewajiban untuk membantu pemerintah nasional dalam pelaksanaan sejumlah programnya. Meskipun posisi daerah adalah sebagai pelaksana, namun tetap saja dibutuhkan proses dialogis antara pemerintah pusat dan daerah sebelum sebuah program diimplementasikan. Dialog antar level pemerintahan ini sangatlah krusial, karena bagaimana juga yang akan berhadapan langsung dengan masyarakat bukanlah pemerintah pusat, namun pemerintah daerah.
Kalau kita melihat secara nyata posisi pemerintah daerah dalam skema BLT adalah tidak selalu menguntungkan, karena dijadikan sebagai bemper pemerintah pusat. Dengan demikian, apapun ekses dari implementasi kebijakan BLT adalah pemerintah daerah dan perangkatnya yang akan menerimanya secara langsung. Lebih jauh lagi, dalam sistem hubungan kelembagaan pemerintahan di Indonesia, ihwal ketentuan tentang tugas perbantuan ini masihlah sangat umum. Adalah tidak ada implikasi dis-insentif apapun (misalnya, penundaan DAU dalam kasus APBD bermasalah), jika daerah tidak mau terlibat dalam tugas perbantuan tersebut.
Karena itu sejatinya pemerintah nasional (pusat) juga tidak memiliki instrumen pemaksa dari aspek sistemik. Artinya, kasus penolakan sejumlah kabupaten/kota dan pemerintah desa atas program BLT merupakan cerminan atas masih rapuhnya bangunan sistem dan hubungan antar level institusi pemerintahan di Indonesia. BLT sebagai implikasi dari kebijakan kenaikan BBM memang sangat rawan untuk dijadikan komoditas politik. Karena itu, pemerintah pusat harus menanggalkan sikap terburu-buru untuk implementasinya dan semestinya melihat secara cermat semua aspek yang terkait dengan rencana BLT tersebut. Respons pemerintah pusat atas penolakan atau keberatan daerah harus dipahami dari sudut Pandang alasan-alasannya, yang kemudian ditindaklanjuti secara tepat dan proporsional.
Perlu ditegaskan kembali, adalah keliru ketika pemerintah pusat menganggap penolakan dan keberatan daerah sebagai bentuk pembangkangan yang harus dikenai sanksi. Pemerintah pusat perlu memahami, bahwa trend perlawanan daerah tersebut merupakan cerminan dari kekacauan sistemik yang menjangkiti sistem pemerintahan Indonesia, khususnya dalam konteks hubungan pusat dengan pemerintah daerah/lokal.
2.     Kebijakan yang disusun tanpa melibatkan masyarakat
Penyaluran dana kompensasi BBM ini memang rawan penyelewengan/penyalahgunaan, sehingga banyak keluarga RTS yang tidak mendapat BLT. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gelombang aksi protes dari keluarga RTS serta kericuhan yang bisa terjadi di berbagai tempat.
Keluarga RTS tentulah kelompok yang paling terkena dampak buruk kenaikan harga BBM, sehingga mudah sekali terbakar emosinya. Betapa tidak, mereka yang selama ini hidup dalam krisis ekonomi berkepanjangan masih harus menghadapi problem ketidakadilan dan diskriminasi dalam proses penerimaan BLT. Karena itu, masyarakat miskin harus benar-benar ditolong. Mereka telah lama mengalami penurunan daya beli secara drastis akibat melonjaknya harga BBM, sembako, dan biaya transportasi.
Untuk itu, dalam menjalankan program BLT pemerintah perlu melibatkan berbagai komponen masyarakat, kalangan independen atau lembaga yang mandiri seperti, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang telah lama menggeluti berbagai masalah kemiskinan. Dengan sikap proaktif dari para aktivis LSM (sekaligus untuk mengawasinya), maka berbagai bentuk penyimpangan program BLT akan dapat ditanggulangi dengan baik.
Kekisruhan yang terjadi bisa diatasi jika sejak awal pemerintah melibatkan kalangan yang sudah memiliki data lengkap tentang angka kemiskinan di setiap daerah. Sebaliknya, tanpa adanya persiapan/pengawasan yang memadai akan membuka peluang terjadinya korupsi yang bisa memicu konflik sosial, gelombang protes, dan amuk massa
3.     Pembuatan kebijakan/program sosial yang terburu-buru
Pelaksanaan program BLT ini tampaknya kurang persiapan baik secara teknis maupun keakuratan data angka kemiskinan di lapangan. Seperti yang dialami warga Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Sumut. Dikabarkan sebanyak 248 keluarga rumah tangga miskin (RTM) di sana tidak mendapatkan BLT (Suara Pembaruan, 3/06/08).
Sementara itu menurut Martaja yang dimuat dalam Harian Suara Pembaruan edisi 10 Juni 2008, data angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappenas sudah kedaluwarsa, sehingga tak akurat lagi untuk memonitor jumlah penduduk miskin di Indonesia. Analisis penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Tanah Air pascakenaikan harga BBM  tahun 2008 bertambah 4,5 juta jiwa, sehingga yang tadi- nya sebanyak 37,2 juta jiwa kini sudah mencapai 41,7 juta jiwa.
Sedangkan sasaran dari program BLT tahun 2008 ini hanya sebayak 19,1 juta dimana data tersebut diperoleh dari BPS berdasarkan data pelaksanaan program BLT tahun 2005-2006.
Berdasarkan hasil penelusuran media massa, seperti yang diungkapkan oleh okezone.com edisi 28 Mei 2008, bahwa implementasi BLT tahun 2008 juga tidak luput dari beberapa permasalahan, setidaknya ada lima permasalahan terkait implementasi program kompensasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) beranggaran Rp. 14,1 triliun yang digelontorkan pemerintah tahun ini. Beberapa diantaranya, menurut Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) adalah:
Pertama, banyak warga miskin yang belum menerima BLT pada tahap pertama 2008 karena belum terdata sebagai penerima BLT. Akbiat lemahnya metodologi dalam validasi data penerima BLT. Saat ini data yang digunakan adalah data warga miskin tahun 2005. Padahal dalam kurun waktu 3 tahun sesudahnya data tersebut belum tentu valid, karena kemungkinan ada warga yang pindah atau meninggal dunia.
Kedua, distribusi kartu BLT sat ini belum merata. Contoh terjadi dipelaksanaan pencairan kartu BLT masih sepi, karena rumah tangga (RTM) belum menerima kartu BLT yang diperlukan untuk mencairkan dana BLT.
Ketiga, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan cabang PT Indonesia di daerah. Sejumlah warga miskin di kota Manado, Sulawesi Utara, dan Kota baru Kalimantan Selatan belum menerima penyaluran BLT, karena PT Pos Indonesia di sana menyatakan belum menerima instruksi resmi penyaluran BLT dari pemerintah pusat.
Keempat, pemberian BLT dinilai kurang efektif untuk memecahkan kesulitan warga miskin. Dengan jumlah dana BLT sebesar Rp 100.000,- /bulan tetap saja tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi jumlah dananya juga tidak bertambah dari tahun 2005 hingga sekarang. Padahal disisi lain tingkat inflasi meningkat dan harga barang-barang kebutuhan pokok juga merangkak naik.
Kelima, program BLT berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Sebagai contoh, kata dia, ratusan kepala desa di wilayah III Cirebon menolak kebijakan pemberian BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Berdasarkan pengalaman BLT pada 2005, pembagian BLT selalu. Menyisakan gejolak di masyarakat karena pasti ada warga miskin yang tidak masuk daftar akibatnya melakukan protes ke kepala desa. Melihat permasalahan tersebut, maka sangat wajar bila beberapa pemerintah daerah dan desa menolak untuk mendistribusikan BLT kepada masyarakat.
4.     Ketidaklengkapan infrastruktur, ketika sarana dan prasarana pendukung dari implementasi kebijakan/program sosial tidak lengkap.
Pada penyaluran dana program BLT tahun 2008 logikanya semua keluarga RTS ingin menerima bantuan kompensasi harga BBM itu pada kesempatan pertama. Sementara outlet yang dipakai untuk menyalurkan bantuan ini, yakni Kantor Pos dan Giro, sangat terbatas. Bahkan sebagian daerah jauh dari jangkauannya. Pembagian dana BLT bisa tersendat-sendat akibat ketidakseimbangan antara jumlah tenaga yang melayani dengan jumlah keluarga RTS. Tidak aneh jika banyak terjadi kekisruhan dalam proses pembagian BLT. Pada saat akan mencairkan BLT di kantor pos, kendala yang banyak ditemui adalah banyaknya Kepala RTS yang mengaku kesulitan untuk menunjukkan bukti diri. Selain itu pengambilan BLT juga tidak dapat diwakilkan, ketertiban dalam pengambilan BLT yang kurang sehingga harus berdesak-desakan, jauhnya jarak rumah tinggal dengan kantor pos terdekat serta biaya transpor yang tinggi. Untuk daerah-daerah kepulauan/terpencil memerlukan tambahan sarana prasarana komunikasi, kantor pos atau tempat pembayaran BLT serta dukungan pendanaan yang memadai agar pelaksanaan program BLT-RTS dapat berjalan dengan lancar, khususnya di wilayah Kepulauan Indonesia Bagian Timur (Provinsi Maluku, Papua dan Papua Barat).

Daftar Pustaka
Iqbal, Hasbi. 2008. Implementasi Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai Tahun 2008 Di Kabupaten Kudus, Tesis Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro, Semarang
Departemen Sosial RI. 2008.   Petunjuk Teknis Program Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Sasaran,  Depsos RI, Jakarta.
Imawan,  Wynandin.  2008.  Pendataan  Program  Perlindungan  Sosial  PPLS 2008, Bappenas, Jakarta.
Martaja. 2008. Menutup Peluang Korupsi Dana BLT Plus. Harian Suara Pembaruan edisi 10 Juni 2008
Muhafidin, Didin. 2008. Siasah Dusturiyah Kajian Tentang Implementasi Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai tahun 2008. Lemlit UNPAD