Senin, 14 Mei 2012

Teori Kualitas Hidup


Pembangunan Sosial bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat (people’s well-being). Midgley menyebutkan bahwa kondisi sejahtera (well-being) menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) yang berkonotasi pada suatu kondisi sosial di mana masalah-masalah sosial diatur, kebutuhan sosial dipenuhi dan terciptanya kesempatan sosial. (2005:21). Bukan sekedar kegiatan amal ataupun bantuan publik yang diberikan oleh pemerintah. (2005:19).
Pakar ilmu sosial mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai tinggi rendahnya tingkat hidup pada suatu masyarakat. Oleh karenanya kemudian diciptakan suatu metode untuk dapat mengetahui indikator kesejahteraan sosial, diantaranya adalah indeks kualitas hidup secara fisik atau PQLI (Physical Quality of Life Index) yang diperkenalkan oleh D.M. Morris (1979), kemudian indeks kemajuan sosial (The Index of Social Progress) yang diciptakan oleh Richard Estes (1985) dan yang terbaru adalah indeks pembangunan manusia (Human Development Index) yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) pada tahun 1990. (Midgley, 2005:20).  Model terakhir inilah yang menjadi populer di berbagai negara termasuk di Indonesia sebagai suatu tools untuk mengukur pembangunan manusia.
Di sisi lain, tidak mudah untuk mendefinisikan kualitas hidup secara tepat. Pengertian mengenai kualitas hidup telah banyak dikemukakan oleh para ahli, namun semua pengertian tersebut tergantung dari siapa yang membuatnya.
Setiap individu memiliki kualitas hidup yang berbeda tergantung dari masing-masing individu dalam menyikapi permasalahan yang terjadi dalam dirinya. Jika menghadapinya dengan positif maka akan baik pula kualitas hidupnya, tetapi lain halnya jika menghadapinya dengan negatif maka akan buruk pula kualitas hidupnya.
Stiglitz, Sen & Fitoussi (2011:68) menyebutkan bahwa kualitas hidup adalah konsep yang lebih luas daripada produksi ekonomi dan standar hidup. Kualitas hidup mencakup sekumpulan penuh faktor-faktor yang mempengaruhi apa yang kita hargai dalam hidup ini, melampaui sisi materialnya.
Menurut Calman yang dikutip oleh Hermann (1993:14-21) dalam Silitonga (2007) mengungkapkan bahwa konsep dari kualitas hidup adalah bagaimana perbedaan antara keinginan yang ada dibandingkan perasaan yang ada sekarang, definisi ini dikenal dengan sebutan “Calman’s Gap”. Calman mengungkapkan pentingnya mengetahui perbedaan antara perasaan yang ada dengan keinginan yang sebenarnya, dicontohkan dengan membandingkan suatu keadaan antara “dimana seseorang berada” dengan “di mana seseorang ingin berada”. Jika perbedaan antara kedua keadaan ini lebar, ketidakcocokan ini menunjukkan bahwa kualitas hidup seseorang tersebut rendah. Sedangkan kualitas hidup tinggi jika perbedaan yang ada antara keduanya kecil.
Cella & Tulsky dalam Dimsdale (1995) menyebutkan bahwa beberapa pendekatan fenomenologi dari kualitas hidup menekankan tentang pentingnya persepsi subjektif seseorang dalam memfungsikan kemampuan mereka sendiri dan membandingkannya dengan standar kemampuan internal yang mereka miliki agar dapat mewujudkan sesuatu menjadi lebih ideal dan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Campbell, dkk dalam Dimsdale (1995) yang menggarisbawahi tentang pentingnya persepsi subjektif dan penafsiran dalam pengukuran kualitas hidup. Dalam hal ini dikemukakan bahwa kualitas hidup dibentuk oleh suatu gagasan yang terdiri dari aspek kognitif dan afektif karena penilaian individu terhadap satu kondisi kognitif mempengaruhi secara efektif dan menimbulkan reaksi terhadap kondisi emosi individu tersebut.
Adapun menurut Cohen & Lazarus dalam Sarafino (1994) kualitas hidup adalah tingkatan yang menggambarkan keunggulan seorang individu yang dapat dinilai dari kehidupan mereka. Keunggulan individu tersebut biasanya dapat dinilai dari tujuan hidupnya, kontrol pribadinya, hubungan interpersonal, perkembangan pribadi, intelektual dan kondisi materi.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup adalah penilaian individu terhadap posisi mereka di dalam kehidupan, dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup dalam kaitannya dengan tujuan individu, harapan, standar serta apa yang menjadi perhatian individu. (Larasati, n.d.)
Stiglitz, Sen & Fitoussi (2011:70-71) mengajukan ada tiga pendekatan konseptual untuk mengukur kualitas hidup, yaitu :
·           Pendekatan pertama, yang dikembangkan erat dengan riset psikologis, dipijakkan pada gagasan tentang kesejahteraan subjektif. Pendekatan ini terkait erat dengan tradisi utilitarian, yang menyatakan bahwa mengupayakan manusia untuk ‘bahagia’ dan ‘puas’ dengan hidup mereka merupakan tujuan universal eksistensi manusia.
·           Pendekatan kedua berakar pada gagasan tentang kapabilitas. Pendekatan ini melihat hidup seseorang sebagai kombinasi antara berbagai ‘kegiatan dan kedirian’ (functionings) dan kebebasannya untuk memilih di antara fungsi-fungsi tersebut (capabilities). Dasar pendekatan kapabilitas ini memiliki akar kuat pada ide filosofis mengenai keadilan sosial, mencerminkan fokus pada tujuan manusia dan menghargai kemampuan individu untuk mengejar dan merealisasikan tujuan yang dia yakini, serta memainkan peran prinsip-prinsip etis dalam merancang masyarakat yang ‘baik’.
·           Pendekatan ketiga, yang dikembangkan dalam tradisi ilmu ekonomi, didasarkan pada gagasan tentang alokasi yang adil. Dasar pemikirannya, banyak ditemui dalam ilmu ekonomi kesejahteraan, adalah menimbang berbagai dimensi non-moneter kualitas hidup (melampaui barang dan jasa yang diperdagangkan di pasar) dengan suatu cara yang menghargai preferensi seseorang.
Kemudian Stiglitz, Sen & Fitoussi (2011:77-98) menyebutkan ada beberapa bidang yang terkait dengan kualitas hidup, diantaranya yaitu : kesehatan, pendidikan, aktivitas personal, hak suara politik dan tata kelola pemerintahan, koneksi sosial, kondisi lingkungan, serta ketidakamanan pribadi. Karena penelitian ini terkait dengan pendidikan maka penulis hanya akan membahas pendidikan.
Lebih lanjut terkait pendidikan, Stiglitz, Sen & Fitoussi mengatakan bahwa pendidikan penting bagi kualitas hidup, terlepas dampaknya pada pendapatan dan produktivitas masyarakat, dimana masyarakat yang lebih terdidik pada umumnya memiliki status kesehatan yang lebih baik, pengangguran yang lebih sedikit, koneksi sosial yang lebih banyak, dan keterlibatan yang lebih besar dalam kehidupan sipil dan politik. (2011:80-81)
Indikator pendidikan yang tersedia sekarang meliputi beragam bidang. Beberapa mengacu pada input (tingkat pendaftaran sekolah, anggaran pendidikan, dan sumber daya sekolah), sementara yang lain mengacu pada throughput dan output (tingkat kelulusan, lamanya tahun bersekolah, pengukuran berbasis tes standar atas tingkat melek huruf dan melek angka). Mana di antara indikator-indikator ini yang yang lebih relevan bergantung pada taraf pembangunan suatu negara dan pada tujuan proses evaluasi itu sendiri. (2011:81)
Sebagian indikator yang paling relevan untuk mengkaji dampak pendidikan terhadap kualitas hidup adalah ukuran kompetensi seseorang, yang mengukur pendidikan dan outcome lain yang penting bagi kualitas hidup di tingkat individu. (2011:82)

Selasa, 01 Mei 2012

Teori Pembangunan Sosial


Definisi pembangunan sosial menurut Midgley (2005:37), adalah suatu proses perubahan sosial yang terencana yang didesain untuk mengangkat kesejahteraan penduduk secara menyeluruh, dengan menggabungkannya dengan proses pembangunan ekonomi yang dinamis. Mengapa direncanakan? Hal ini karena diinginkan adanya perubahan manusia dan kesejahteraan.
Lebih lanjut Midgley (2005:38-41) mengajukan ada delapan aspek yang perlu diperhatikan, diantaranya yaitu:
1.   Proses pembangunan sosial sangat terkait dengan pembangunan ekonomi. Aspek ini yang membuat pembangunan sosial berbeda ketika dibandingkan dengan pendekatan lain dalam mengangkat kesejahteraan orang banyak. Pembangunan sosial mencoba untuk mengaplikasikan kebijakan-kebijakan dan program-program sosial untuk mengangkat kesejahteraan sosial, pembangunan sosial melakukannya dengan konteks proses pembangunan.  
2.  Pembangunan sosial mempunyai fokus berbagai macam disiplin ilmu (interdisipliner) berdasarkan berbagai ilmu sosial yang berbeda. Pembangunan sosial secara khusus terinspirasi dari politik dan ekonomi.  Pembangunan sosial juga menyentuh nilai, kepercayaan dan ideologi secara eksplisit. Dengan isu-isu ideologis, pembagunan sosial diharapkan dapat lebih baik menciptakan intervensi dalam menganalisa dan mengahadapi masalah sosial dalam mengangkat kesejahteraan masyarakat.
3. Konsep pembangunan sosial lebih menekankan pada proses. Pembangunan sosial sebagai konsep dinamis memiliki ide-ide tentang pertumbuhan dan perubahan yang bersifat eksplisit dimana istilah pembangunan itu sendiri lebih berkonotasi pada semangat akan perubahan yang positif. Secara literal, pembangunan adalah satu proses pertumbuhan, perubahan, evolusi dan pergerakan. Pembangunan sosial memiliki tiga aspek, pertama, kondisi sosial awal yang akan diubah dengan pembangunan sosial, kedua, proses perubahan itu sendiri, ketiga, keadaan akhir ketika tujuan-tujuan pembangunan sosial telah tercapai.
4.   Proses perubahan yang progresif. Perubahan yang dilakukan berusaha untuk perbaikan bagi seluruh manusia. Ide-ide akan perbaikan dan peningkatan sosial sangat dibutuhkan dalam pembangunan sosial.
5.     Proses pembangunan sosial bersifat intervensi. Peningkatan perubahan dalam kesejahteraan sosial terjadi karena adanya usaha-usaha yang terencana yang dilakukan oleh para pelaku perubahan, bukan terjadi secara natural karena bekerjanya sistem ekonomi pasar atau dengan dorongan historis. Proses pembangunan sosial lebih tertuju pada manusia yang dapat mengimplementasikan rencana dan strategi yang spesifik untuk mencapai tujuan pembangunan sosial.
6.     Tujuan pembangunan sosial didukung dengan beberapa macam strategi, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan menghubungkan intervensi sosial dengan usaha pembangunan ekonomi. Keduanya didasari oleh keyakinan dan ideologi yang berbeda tetapi hal ini dapat diharmonisasikan meskipun masih ditemui kesulitan untuk merangkum semuanya dalam sebuah sintesa.
7.        Pembangunan sosial lebih terkait dengan rakyat secara menyeluruh serta ruang lingkupnya lebih bersifat inklusif atau universal. Pembangunan sosial fokus makronya menargetkan perhatian pada komunitas, daerah dan masyarakat. Pembangunan sosial lebih tertuju pada mereka yang terlantar karena pertumbuhan ekonomi atau tidak diikutsertakan dalam pembangunan (orang miskin dalam kota, penduduk desa yang miskin, etnis minoritas dan wanita). Pembangunan sosial fokusnya bersifat pembagian daerah (spasial) seperti dalam kota, masyarakat pedesaan, perkotaan, daerah-daerah atau negara.
8.   Tujuan pembangunan sosial adalah mengangkat kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial menurut Midgley disini berkonotasi pada suatu kondisi sosial di mana masalah-masalah sosial diatur, kebutuhan sosial dipenuhi dan terciptanya kesempatan sosial (2005:21). Bukan sekedar kegiatan amal ataupun bantuan publik yang diberikan oleh pemerintah (2005:19).
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat bahwa pembangunan sosial menurut Midgley (2005:34) adalah pendekatan pembangunan yang secara eksplisit berusaha mengintegrasikan proses ekonomi dan sosial sebagai kesatuan dari proses pembangunan yang dinamis, membentuk dua sisi dari satu mata uang yang sama. Pembangunan sosial tidak akan terjadi tanpa adanya pembangunan ekonomi, begitu pula sebaliknya pembangunan ekonomi tidaklah berarti tanpa diiringi dengan peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat secara menyeluruh.
Orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, yang diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh. Paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (a) social services, (b) social welfare services, dan (c) community development. Meminjam asumsi Todaro (M. P. Todaro, 1989: 92), ada tiga sasaran yang seyogyanya dicapai dalam pembangunan sosial, yaitu :
Pertama, meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok.
Kedua, meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu ataupun sebagai suatu bangsa.
Ketiga, memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara lain tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia. Pembangunan, dengan demikian, harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan kelembagaan nasional. (Prayitno, 2009).
Lebih lanjut Moeljarto dalam Prayitno (2009) berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya pembangunan sosial itu memiliki tiga kategori makna (Moeljarto T., 37-40), yaitu (1) pembangunan sosial sebagai pengadaan pelayanan masyarakat, (2) pembangunan masyarakat sebagai upaya terencana untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks dan bervariasi, dan (3) pembangunan sosial sebagai upaya yang terencana untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk berbuat. Beragamnya tujuan dan makna pembangunan sosial, maka dalam pertemuan ahli dari UNCRD di Nagoya menerima definisi lengkap sebagai :
"Pembangunan Sosial tidak hanya diukur melalui peningkatan akses pelayanan seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan, melainkan melalui kemajuan dalam pencapaian tujuan sosial yang lebih kompleks dan kadang-kadang beragam seperti persamaan, 'keadilan sosial', promosi budaya, dan ketentraman batin, juga peningkatan kemampuan manusia untuk bertindak, sehingga potensi kreatif mereka dapat dikeluarkan dan membentuk perkembangan sosial" (Moeljarto T., 40).
Kemudian dalam kaitannya dengan strategi pembangunan sosial yang dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan taraf  hidup masyarakat, Midgley (2005:149-201) mengemukakan ada tiga strategi besar, yaitu:
1.  Pembangunan  Sosial oleh Individu, di mana kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dapat diangkat ketika para individu berusaha untuk mengangkat kesejahteraan mereka masing-masing. Pendekatannya lebih mengarah pada pendekatan individualis dan pendekatan enterprise (usaha).
2.   Pembangunan Sosial oleh Masyarakat, di mana masyarakat saling bekerja sama secara harmonis serta memiliki tujuan yang sama untuk memenuhi kebutuhan mereka, memecahkan permasalahan mereka dan berusaha menciptakan kesempatan guna memperbaiki hidup. Pendekatannya lebih dikenal dengan nama pendekatan kemasyarakatan.
3.    pembangunan Sosial oleh Pemerintah, di mana pembangunan sosial dilakukan oleh pemerintah, dengan agen-agennya yang khusus, pembuatan kebijakan, para perencana dan administraturnya. Negara mewakili kepentingan masyarakat secara keseluruhan dan memiliki tanggung jawab mengangkat kesejahteraan seluruh warganegaranya. Pendekatannya lebih dikenal dengan nama pendekatan statist / negara.
Berkaitan dengan kondisi Indonesia yang kompleks, ternyata tidak dapat dipilih satu dari tiga strategi tersebut, tetapi ketiga strategi tersebut perlu terus dilaksanakan. Artinya, ketika pemerintah melakukan pembangunan sosial, maka peran-peran dari swasta dan sektor ketiga (masyarakat madani) terus ditumbuhkan. Sehingga, tidak terjadi dominasi pemerintah dalam penanganan pembangunan sosial. Masing-masing pihak terus menunjukkan kiprahnya. Bahkan, bisa melakukan sinergi untuk mempercepat proses pembangunan sosial. Jika swasta dan sektor lain mampu memberikan kontribusi pada Negara, maka diharapkan akan dapat mengurangi beban pemerintah. Sehingga, pemerintah bisa mengalokasikannya untuk program strategis lainnya (Prayitno, 2009).

Kamis, 29 Maret 2012

Bersungguh-sungguh (Semua akan manis dan indah pada waktunya)

Hey kawan, hal itu pun pernah ku rasakan. Mulai dari hinaan sampai pujian. Tetapi itu semua merupakan cobaan. Sejatinya semua kembali pada Tuhan. Pengatur segala kejadian.

Dulu, ketika bisa sekolah di STM Pembangunan senangnya luar biasa. Karena sekolah ini favorit di Jakarta. Tetapi apa daya, lulus sekolah badai krismon melanda. 1998 menjadi legenda. Mencari kerja sungguh susah luar biasa. Ijazah tak laku di dunia kerja, akhirnya teronggok dalam laci meja. Sungguh berat beban menimpa. Sekolah favorit malah menjadi bumerang sebagai senjata. Katanya lulus bisa langsung kerja, cibiran orang serasa mengena. Duhai Allah Yang Maha Kuasa, apa salah hamba? Terbersit pikir kenapa dulu tidak sekolah di sekolah biasa-biasa saja? Ampuni hamba yang penuh dengan dosa.

Berbekal ijazah sekolah yang tak laku di bursa kerja, semangat kembali membara. Kali ini ku coba saja peluang yang ada. Bermimpi kuliah di PTN ternama. Meski harus berjuang belajar materi SMA. Hey, mana ku dapat materi Biologi, Kimia, Fisika, Geografi, Ekonomi di sekolah lama? Bahkan Kimia dan Fisika di sekolah lama diajar hanya formalitas saja. Pun di ajar oleh guru bukan bidangnya. Hanya di pertengahan kelas tiga. Itu pun untuk mengejar nilai EBTA. Pada akhirnya saya hanya dapat nilai tiga koma. Bersyukur masih bisa lulus sekolah. Dan perjuangan pun tak sia-sia. Mimpi kuliah di salah satu PTN ternama menjadi nyata. Unpad, di Jatinangor sana. Walau berbeda dengan bidang pertama, elektronika. Banting stir 180 derajat menjadi Administrasi Negara. Di tahun kedua, mulai dapat beasiswa. Alhamdulillah, rejeki tak kemana. Antara usaha dan doa.

Kuliah lancar dan tepat waktu dalam 4 tahun saja. Lulus dengan predikat tidak bikin kecewa. Cumlaude, orang bilang namanya. Meski diiringi dengan kegiatan bermacam organisasi. Menjadi aktivis mahasiswa. Hanya ingin mendobrak paradigma, siapa bilang aktivis mahasiswa lulusnya lama? Itu tidak terjadi pada saya. Meski hal ini melanda pada beberapa teman aktivis mahasiswa.

Selepas kuliah langsung bekerja. Di sebuah pabrik furniture, bogor area. Olympic namanya. Bagian marketing posisinya. Memang perusahaan punya nama, tapi gaji yang di dapat tidak setara. Cukup hanya untuk bayar cicilan motor, sisanya buat operasional sehari-hari dalam bekerja. Yah sudah, disyukuri saja. Meski tak ada tabungan dari uang gaji tersisa. Impian ingin segera menikah pun menjadi sirna. Sampai bosan dan pekak mendapat pertanyaan yang sama. Kapan menikah atau anak berapa? Jika setiap kali ketemu kolega. Senyum getir tak bisa menjawab, dalam hati seperti tersayat dan luka. Duhai Allah, lagi-lagi dilema. Situasi tak bertahan lama. Cukup dua tahun saja. Sambil tetap bekerja, terus menerus melamar kerja. Harapan untuk mencari lebih baik dari semula. Pada akhirnya usaha terus menerus membuahkan hasil nyata, diterima bekerja sebagai abdi negara. Ketika terima SK seperti tak percaya. Bagai mimpi di siang hari. Jayapura, Papua? Duhai Allah, apa lagi ini? Tetapi ku yakin ini sebuah rencana. Yah, rencana untuk masa depan saya dari Sang Maha Kuasa. Dengan minim informasi, ku beranikan diri terbang menjemput mimpi di bumi cendrawasih. Meski harus diiringi berat hati dari orang tua. Tak ada kerabat, tak ada saudara. Yah sudah, perbanyak teman saja. Itu strategi saya nanti di Jayapura.

Satu tahun sebagai abdi negara, Allah berikan jodoh buat saya. Kenalannya seorang teman kuliah. Ternyata si calon dari Jakarta dan almamater yang sama. Kok bisa ya saya tidak mengenal dia? Hampir sebagian besar teman-teman kuliahnya, saya kenal. Begitu pula sebaliknya dengan teman-teman saya, dia kenal. Uniknya, saya tidak mengenal dia dan dia pun tidak mengenal saya. Hm, jodoh memang unik. Saya memang punya prinsip tidak pacaran sebelum menikah, menghindari dosa.  Rasa cocok saat baca biodata. Pertanyaan saya untuk si dia, mau tidak ikut ke Jayapura? Alhamdulillah, jawabannya iya. Setelah menikah, istri langsung ‘isi’. Saat dibawa ke Jayapura, istri pun diterima bekerja. Sama sebagai abdi negara. Dosen di sebuah kampus kesehatan milik pemerintah.  Anak pertama kami pun lahir di Jayapura. Alhamdulillah, rejekinya orang menikah. Saat pertama kali ke Jayapura, kami tak punya rumah. Kontrak di rumah petak yang harganya berjuta-juta. Kembali cobaan melanda. Bertetangga dengan orang yang tidak punya etika. Masalah jatah air jadi dilema. Meski kami abdi negara, tetap saja rasa terhina. Digunjing sana-sini oleh tetangga kiri. Doa kami saat itu semoga bisa beli rumah. Allah mendengar doa kami yang terdzolimi. Secara logika matematika tak mungkin beli rumah. Karena harganya ratusan juta. Uang dari mana? Tapi Allah Maha Kuasa. Rumah ratusan juta dibeli harga murah. Meski tak seper pun uang ada dalam genggaman. Berusaha sungguh-sungguh mencari pinjaman. Akhirnya dapat dengan membayar cicilan. Alhamdulillah, Allah memberikan jalan. Tiga tahun sebagai abdi negara sudah terbeli rumah. Meski bukan rumah mewah, hanya rumah sederhana. Padahal banyak orang sudah puluhan tahun tinggal di Jayapura masih belum terbeli rumah. Tak ada lagi orang melecehkan. Apalagi saya dapat beasiswa. Melanjutkan kuliah S2 di UI Jakarta. Meski harus pisah dengan keluarga, demi masa depan kami pun rela.

Alhamdulillah ala kulihal. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Semoga bisa menjadi pelajaran, tentang ujian dan buah kesabaran. Semua akan terasa manis dan indah pada waktunya... J