Observasi Fenomena Merokok Di Ruang Publik (Studi Kasus Kampus FISIP UI Depok)
Terus terang pada awalnya kuliah di FISIP UI Depok saya berharap (hingga saat ini dan ke depan pun masih terus berharap) suasana lingkungan kampus yang bebas asap rokok. Pengalaman ini pernah saya alami ketika mengikuti kegiatan diklat Jabatan Fungsional Perencana (JFP) Tingkat Pertama yang diselenggarakan oleh Bappenas bekerja sama dengan ITB dan Unpad Bandung dimana pada kegiatan tersebut waktu itu dilaksanakan di ITB, tepatnya di Perencanaan Wilayah dan Kota - Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan – ITB (PWK-SAPPK-ITB) selama kurang lebih dua bulan, 28 Juni 2010 – 30 Agustus 2010. Di gedung PWK sangat jarang saya lihat orang yang merokok. Berbagai tanda dilarang atau himbauan untuk tidak merokok bisa kita jumpai di gedung ini. Kalau pun ada yang merokok biasanya di ruang terbuka di luar gedung ini, tidak dalam gedung. Walau pun belum seluruhnya area kampus ITB bebas asap rokok, seperti ruang terbuka di luar gedung, minimal ada salah satu gedungnya bebas dari orang-orang yang merokok.
Pernah suatu saat awal-awal kegiatan diklat teman-teman peserta diklat yang memang perokok ketika jeda makan siang mengobrol di salah satu sudut gedung yang memang ada fasilitas meja dan kursi. Tampaknya fasilitas meja dan kursi ini memang sengaja disiapkan untuk media berdiskusi. Sambil mengobrol, tentu saja mereka merokok. Entah apa yang mereka obrolkan karena saya hanya menyaksikan dari meja lain yang terpisah beberapa meter tetapi masih dalam area yang sama, saya tidak tahan akan asap rokok. Sambil mengamati teman-teman dan keadaan sekitar, saya menelpon istri di Jayapura. Beberapa orang civitas akademi ITB (mahasiswa, dosen dan pegawai) saat melihat teman-teman diklat yang mengobrol santai, tertawa-tawa sambil merokok, sepertinya wajah mereka tampak keheranan. Tebakan saya, mungkin mereka aneh melihat ‘fenomena yang tidak biasa’ di lingkungan kampus mereka. Saya jelas-jelas dapat ‘menangkap’ wajah-wajah keheranan mereka, tetapi mereka hanya memandang sekilas kemudian berlalu begitu saja. Kegiatan rokok-merokok ini terjadi beberapa kali. Hingga pada suatu hari di kelas, salah seorang petinggi kampus yang kebetulan menjadi pemateri (pemberi materi kuliah) di kelas hari itu menyinggung ‘masalah’ ini. Dia mengingatkan bahwa ada larangan dan himbauan untuk tidak merokok di lingkungan kampus. Dia berkata “apakah saudara-saudara tidak melihat atau membaca tanda peringatan dilarang atau himbauan untuk tidak merokok?” lanjut lagi katanya “saudara-saudara disini adalah tamu, seharusnya menghormati ‘aturan main’ yang berlaku di kampus ini. Saya menghormati bagi kalian yang merokok. Silakan kalian merokok dimana pun tempat yang kalian mau tetapi saya tegaskan kembali tidak di lingkungan kampus ini”. Ternyata teguran ini efektif. Teman-teman diklat pun jika mau merokok biasanya menjauhi lingkungan area gedung PWK, minimal diluar gedung yang tidak ada tanda larangan merokoknya. Saling menghormati.
Kontras sekali hal tersebut dengan lingkungan di FISIP UI Depok. Saya lihat setiap sudut area publik sangat mudah dijumpai orang-orang yang sedang merokok. Mulai dari parkiran motor, sepanjang koridor-koridor penghubung antar gedung, blok area (atm BNI, koperasi, IT Center, bloc, restoran korea), apalagi tempat makan seperti takor dan kantin balsem. Kantin balsem yang terparah, pada saat jam makan, kepulan asap rokok dimana-mana. Tidak hanya laki-laki yang merokok, bahkan beberapa mahasiswa perempuan pun ikutan merokok. Makanya saya paling malas ke tempat ini. Area dan ruang steril di FISIP UI Depok yang bebas rokok hanya ruangan ber-AC, ruang kuliah dan perpustakaan salah satunya. Mushola juga bebas rokok. Dalam gedung pun tidak luput dari sasaran para perokok. Saya ambil contoh gedung PAU (karena sehari-harinya saya kuliah di gedung ini). Di gedung PAU sendiri jarang saya melihat tanda larangan atau sekedar himbauan untuk tidak merokok. Bahkan anehnya di meja yang terdapat sofa di lantai satu sampai tiga gedung ini saya pernah melihat ada asbak. Seakan-akan malah difasilitasi orang-orang yang merokok ini. Sepertinya mau saya buang saja asbak tersebut ke tempat sampah. Tetapi saya kembali berfikir, ini tidak menyelesaikan masalah. Membuang asbak tidak memberikan solusi dari permasalahan yang ada. Maka hal ini urung saya lakukan. Mulai dari lantai satu sampai lantai tiga (area di luar ruang kuliah, mushola dan sekretariat program) gedung PAU orang-orang yang merokok bebas-bebas saja.
Pernah suatu saat, waktu awal-awal kuliah ketika ada salah seorang mahasiswa yang merokok dan saya merasa terganggu dengan asap rokoknya lalu saya berusaha untuk menegur. Saya bilang “tolong dong matikan rokoknya, asapnya nih”. Lalu mahasiswa itu menjawab “merokok itu hak asasi, lagi pula gue bayar kuliah disini. Jadi sah-sah aja dong kalo gue manfaatin fasilitas disini”. Saya hanya melihat jengkel kepadanya sambil menjauh darinya dan dalam hati menggerutu “lu kira gue tugas belajar kuliah disini juga ga bayar apa? terus lu kira hidup bersih tanpa asap rokok itu bukan hak asasi apa? kalau lu mau merusak diri sendiri silakan bos, tapi jangan pula lu rusak orang lain yang tidak merokok dong”. Saya yakin mereka sadar dan tahu akan bahaya rokok. Tapi itu dia, ketika sudah menjadi candu mereka akan sulit untuk bisa berhenti dari kebiasaan merokok. Makanya saya paling malas jika harus berdebat dengan orang-orang seperti ini. Tidak akan ada titik temunya. Makanya lebih baik saya ‘mengalah’ dan hanya menghindar saja. Teriak-teriak juga percuma karena memang belum ada sebuah ‘aturan dan konsensus’ yang berlaku seperti di gedung PWK ITB yang saya kemukakan pada awal tulisan ini.
Sebenarnya dalam hati kecil saya ingin sesekali bergabung dengan teman-teman laki-laki lain sambil mengobrol dan berdiskusi apapun, tetapi yang sangat disayangkan adalah kebiasaan merokok mereka yang membuat saya tidak nyaman. Jika mereka berkumpul, dapat dilihat minimal salah satu dari mereka merokok. Memang kadang sesekali saya 'terpaksa' ikut juga bergabung dan berdiskusi, dengan kondisi kadang sering tahan napas atau sekedar mengibas-ibaskan udara di sekitar alat pernafasan. Oleh karena itu, memilih aman, biasanya saya lebih sering mengobrol dan berdiskusi dengan teman-teman perempuan. Rombongan ibu-ibu. Saya mengamati teman-teman kuliah yang perempuan lebih banyak, bahkan mayoritas tidak merokok.
Yang selalu menjadi pertanyaan saya adalah, kira-kira kapan ya area kampus FISIP UI Depok bisa bebas dari asap rokok? Ya setidaknya minimal gedung PAU tempat saya sehari-hari kuliah. Apakah para petinggi kampus ini tidak mengambil suatu kebijakan dan langkah-langkah konkrit terkait fenomena ini? Atau, jangan-jangan mereka tidak peduli? Untuk pertanyaan terakhir semoga saja jawabannya tidak. Saya yakin mereka sangat peduli, tetapi ‘belum bisa’ untuk mengambil langkah konkrit untuk membebaskan kampus ini dari asap rokok. Entah apa yang melatarbelakangi sulitnya kebijakan tersebut dibuat. Tentunya, entah sampai kapan, mungkin suatu saat nanti, saya terus berharap semoga kampus FISIP UI Depok bisa benar-benar bebas dari asap rokok. Hidup sehat tanpa asap rokok. Sebuah kepedulian dan harapan yang terus menerus senantiasa hidup. Hal ini karena satu sebab, I hate smoke!
Depok, Akhir tahun 2010
Depok, Akhir tahun 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar