Senin, 24 Oktober 2011

Analisa Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahun 2008

Deskripsi Program BLT
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tertuang amanat konstitusi, bahwa upaya penanggulangan kemiskinan, merupakan perlindungan segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan  umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan  kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satu  kebijakan  pembangunan kurun  waktu 2004–2009 seperti tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah  meningkatkan kesejahteraan  rakyat yang diantaranya  memuat target menurunkan kemiskinan dari 16,7 persen pada tahun 2004 menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Target tersebut akan berhasil jika daya beli penduduk terus dapat ditingkatkan secara berkelanjutan.
Berbagai aspek penting, yang melatarbelakangi perlunya penanggulangan kemiskinan, antaralain aspek kemanusiaan, aspek ekonomi, aspek sosial dan politik serta aspek keamanan.
Kemiskinan merupakan masalah yang sangat komplek, baik dari faktor penyebab  maupun  dari  dampak  yang  ditimbulkan.  Ditinjau  dari  penyebab, kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal   antara  lain  keadaan  individu  yang  bersangkutan, keluarga  atau komunitas masyarakat dipandang dari rendahnya pendidikan dan pendapatan. Adapun penyebab dari faktor eksternal yakni kondisi sosial, politik, hukum dan ekonomi.
Pembangunan  yang  berorientasi  pada  kepentingan  masyarakat  bawah yang  jumlahnya  sangat  besar,  membutuhkan  pembiayaan  yang  meningkat setiap tahun  dalam alokasi APBN. Namun demikian, kendala pembiayaan yang dihadapi saat ini  adalah membengkaknya subsidi BBM sebagai akibat dari meningkatnya harga minyak mentah di pasar internasional.  Jika subsidi tersebut  tidak  dapat  dikendalikan  akan  mengganggu  pelaksanaan  program pembangunan  ke  depan  khususnya  yang  menyangkut  kehidupan  sebagian besar penduduk.
Keputusan menaikkan harga BBM dalam negeri pada Juni 2008 diambil karena biaya subsidi BBM dalam negeri meningkat sangat pesat dengan naiknya harga minyak mentah dunia yang akhir-akhir ini mencapai di atas US$ 120 per barel. Jika tidak dilakukannya penyesuaian harga BBM dalam negeri, APBN yang merupakan salah satu pilar perekonomian menjadi tidak berkelanjutan. Hal ini menyebabkan runtuhnya kepercayaan pasar yang pada gilirannya berakibat pada merosotnya perekonomian nasional.
Ironinya, Subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpendapatan menengah dan atas. 20% masyarakat kelompok terkaya menikmati hampir 50% subsidi BBM. Sementara 20% masyarakat termiskin hanya menikmati 5,15% subsidi BBM. Selain itu dengan semakin besarnya subsidi BBM mengakibatkan berbagai program untuk masyarakat miskin menjadi tidak mungkin dilaksanakan. Tabel  berikut  menunjukkan  distribusi penggunaan subsidi BBM.
Tabel Distribusi Penggunaan Subsidi BBM tahun 2008

Kelompok Pendapatan
Distribusi Subsidi BBM (%)
APBN-P 2008 (Trilyun Rp)
1
2
3
20 % Teratas
48,44
61,42
20 % Kedua Teratas
22,48
28,50
20 % Menengah
15,16
19,22
20 % Kedua Terbawah
8,77
11,12
20 % Terbawah
5,15
6,53
Jumlah
100,00
126,80
Sumber :  Bambang Widianto (2008 : 2) dalam Iqbal (2008)

Perkembangan kenaikan harga minyak pada Juni 2008 menyebabkan besaran subsidi mulai mengusik prinsip keadilan. Kenaikan harga   BBM   disadari   akan berdampak secara berantai pada kenaikan harga barang-barang pokok sehari-hari  sehingga  akan  berpengaruh  pada  penurunan  daya  beli sebagian  besar masyarakat  khususnya rumah tangga dengan pendapatan rendah atau rumah tangga miskin.
Seandainya penyesuaian tidak dilakukan keadaan perekonomian justru akan bertambah buruk dan yang paling terkena adalah masyarakat yang paling miskin. Dampak kenaikan harga BBM dalam negeri akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Namun demikian pemerintah bertekad untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat yang berpenghasilan rendah terutama masyarakat miskin melalui program kompensasi, yang berupa : (1) peningkatan program kemiskinan yang bersifat jangka panjang seperti PNPM, program keluarga harapan, program JAMKESNAS, program penyediaan beasiswa, program pelayanan KB bagi PUS, Program KUR dan program lain yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. (2) Program Kompensasi jangka pendek yaitu program Bantuan Langsung Tunai (BLT), perluasan program raskin, program penjualan minyak goreng bersubsidi dan program pasar beras murah untuk buruh, PNS Gol I/II, tenaga honorer serta Tamtama TNI/Polri.
Bersamaan dengan keputusan  pemerintah menaikkan hargaa BBM pada Juni 2008 maka pemerintah kembali melaksanakan program BLT melalui Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2008 (Inpres 3/2008) tanggal 14 Mei 2008 tentang pelaksanaan program Bantuan Langsung Tunai untuk  Rumah  Tangga  Sasaran  (RTS).        Program  BLT  ini  memberikan  Rp 100.000,- per bulan dimulai pada bulan Juni berakhir di bulan Desember tahun 2008, selama tujuh bulan.
Sebelumnya pada tahun 2005–2006, Pemerintah pernah memberikan BLT kepada Rumah Tangga Miskin (RTM) akibat kenaikan harga BBM pada bulan Oktober tahun 2005. Program pemberian BLT tahun 2005 berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2005 (Inpres 12/2005) yang dikeluarkan pada tanggal 10  September 2005 tentang Bantuan Langsung  Tunai  kepada rumah  tangga  miskin. Program  ini  ditujukan  untuk  mengurangi  dampak negatif kenaikan harga BBM pada kalangan yang paling miskin.
Program ini bersifat temporer, dan diarahkan sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan ketergantungan dan tidak mendorong menguatnya the culture of poverty. Program BLT dirancang sebagai pengganti kenaikan biaya hidup yang akan  terjadi jika harga BBM dinaikkan. Karena itu, besaran BLT dihitung sebagai   kenaikan  biaya  hidup  penduduk  miskin  karena  kenaikan  harga (inflasi)  yang diakibatkan  langsung  maupun  tidak  langsung  oleh  kenaikan harga BBM. Program  BLT tahun 2005 tersebut  telah dilaksanakan  selama satu tahun pada periode 2005 – 2006.  BLT disalurkan kepada rumah tangga miskin sebesar Rp 100.000,- per bulan yang diterimakan per triwulan sebesar Rp 300.000,-.
Tabel Beberapa Perbedaan BLT 2005 dan BLT 2008
No
Uraian
BLT 2005
BLT 2008
1
2
3
4

1

Dasar Peraturan
Inpres no: 12 tahun
2005
Inpres no: 3 tahun
2008

2

Penerima Manfaat
Rumah Tangga Miskin
(RTM)
Rumah Tangga
Sasaran (RTS)
3
Jumlah Bulan
12 bulan
7 bulan
4
Periode Pembayaran
4 kali
2 kali

5
Nominal
Pembayaran

Rp 300.000,-/periode
Rp 300.000,-
dan Rp 400.000,-
6
Verifikasi Data
BPS
PT. Pos Indonesia
Sumber :  BPS tahun 2006 dan Departemen Sosial 2008


Data dasar yang digunakan untuk BLT tahun 2008 adalah data untuk pelaksanaan BLT tahun 2005-2006. Dan terus mengalami pemutakhiran data dasar yang digunakan mencerminkan keadaan tahun 2006. Setelah itu BPS melakukan pemutakhiran data di 1000 kecamatan berkaitan dengan program keluarga harapan (PKH). Di samping itu, PT Pos melakukan penyesuaian sehubungan dengan adanya rumah tangga sasaran yang berpindah alamat, meninggal dunia atau tidak mengambil uang tunai pada program BLT 2005-2006. Selanjutnya pemutakhiran data melalui sensus rumah tangga sasaran akan segera dilakukan oleh BPS.
Tujuan program BLT tahun 2008 bagi RTS dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi BBM, adalah: (1) membantu masyarakat miskin agar tetap  dapat memenuhi kebutuhan  dasarnya, (2) mencegah penurunan  taraf kesejahteraan   masyarakat   miskin   akibat   kesulitan   ekonomi,  dan (3) meningkatkan tanggung jawab sosial bersama. (Depsos, 2008)
Penerima BLT adalah rumah tangga sasaran sebanyak 19, 1 juta RTS hasil  pendataan BPS,   yang meliputi rumah tangga sangat miskin (poorest), rumah tangga miskin (poor), dan rumah tangga hampir miskin (near poor) di seluruh wilayah Indonesia.
Secara umum, strategi yang dilaksanakan berkaitan penyaluran dana BLT   kepada  RTS  sebagaimana  yang  tercantum  dalam  Petunjuk  Teknis Penyaluran Program BLT Departemen Sosial RI, adalah seperti skema sebagai berikut :
Skema Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Kepada Rumah Tangga Sasaran (RTS)
Sumber :  Departemen Sosial RI (2008 : 15)

Tahapan  yang  dilaksanakan  berkaitan  dengan  penyaluran  dan  BLT adalah :
  1. Sosialisasi program BLT, dilaksanakan oleh Departemen Komunikasi dan Informatika, Departemen Sosial, bersama dengan Kementerian/Lembaga di Pusat bersama-sama pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, aparat kecamatan, dan tenaga kesejahteraan sosial masyarakat (Karang Taruna, Kader Taruna Siaga Bencana (TAGANA),  Pekerja        Sosial Masyarakat (PSM), Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat).
  2. Penyiapan data RTS dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik.   Daftar nama  dan alamat yang telah tersedia disimpan dalam sistem database BPS, Departemen Sosial, dan PT. Pos Indonesia.
  3. Pengiriman data berdasarkan nama dan alamat RTS dari BPS Pusat ke PT. Pos Indonesia.
  4. Pencetakan  Kartu  Kompensasi  BBM  (KKB)  berdasarkan  data  yang diterima oleh PT. Pos Indonesia.
  5. Penandatanganan KKB oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia.
  6. Pengiriman KKB ke kantor pos seluruh Indonesia.
  7. Pengecekan kelayakan daftar RTS di tingkat desa/kelurahan.
  8. Penerima   program   Keluarga   Harapan   juga   akan   menerima   BLT, sehingga dimasukkan sebagai RTS yang masuk dalam daftar.
  9. Pembagian   KKB   kepada   RTS   oleh   petugas   pos   dibantu   aparat desa/kelurahan,  tenaga  kesejahteraan  sosial  masyarakat,  serta  aparat keamanan setempat jika diperlukan.
  10. Pencairan BLT oleh RTS berdasarkan KKB di Kantor Pos atau di lokasi-lokasi  pembayaran  yang  telah  ditetapkan  untuk  daerah-daerah  yang terpencil/sulit   menjangkau  Kantor  Pos. Terhadap  Kartu  Penerima dilakukan pencocokan dengan Daftar Penerima (Dapem), yang kemudian dikenal sebagai Kartu Duplikat.
  11. Pembayaran terhadap penerima KKB dilakukan untuk periode Juni s.d Agustus  sebesar  Rp  300.000,-  dan  periode  September  s.d  Desember sebesar Rp  400.000,-. Penjadwalan  pembayaran untuk setiap periode menjadi kewenangan PT. Pos Indonesia.
  12. Jika kondisi penerima KKB tidak memiliki identitas sebagai persyaratan kelengkapan  verifikasi  proses  bayar,  maka  proses  bayar  dilakukan dengan verifikasi bukti diri yang sah (KTP, SIM, Kartu Keluarga, Surat Keterangan dari Kelurahan, dll).
  13. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan penyaluran BLT oleh Tim terpadu.
  14. Pelaporan bulanan oleh PT. Pos Indonesia kepada Departemen Sosial. 
Sumber : Departemen Sosial (2008 : 11 – 13)

                Pelaksana  Program  Bantuan Langsung Tunai bagi RTS adalah  Departemen  Sosial selaku  Kuasa  Pengguna Anggaran dibantu oleh pihak-pihak  terkait yang telah ditetapkan dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai Untuk Rumah Tangga Sasaran.
Penyaluran BLT-RTS merupakan suatu bentuk kerjasama  yang didasarkan  pada fungsi dan tugas pokok masing- masing, sehingga masing-masing lembaga bertanggung- jawab terhadap kelancaran bidang tugas masing-masing. Bentuk kerjasama ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penyaluran dana BLT-RTS kepada kelompok sasaran sehingga pemanfaatannya menjadi lebih optimal. Untuk meningkatkan sinergi pelayanan yang maksimal, maka masing-masing lembaga saling berkoordinasi.
Dalam  pelaksanaan   Program  BLT-RTS  difasilitasi penyediaan Unit Pelaksana Program BLT (UPP-BLT) dari tingkat pusat sampai dengan kecamatan. Berikut ini struktur organisasi program BLT :

   Struktur Organisasi Program BLT
Sumber : Depsos (2008 : 17)

Menurut Wynandin Imawan (2008) dalam Iqbal (2008) Program Bantuan Langsung Tunai merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia  dari sekian  banyak program penanggulangan kemiskinan yang terbagi menjadi tiga klaster.   Program Bantuan Langsung Tunai masuk dalam klaster I, yaitu Program Bantuan dan Perlindungan Sosial. Termasuk  dalam klaster I adalah Program Beras Miskin (Raskin), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JamKesMas),  dan Program Bea Siswa.
Menurut  Wynandin  Imawan  (2008)  dalam Iqbal (2008) selain  melaksanakan  klaster  I, Pemerintah Indonesia  juga  melaksanakan program pengentasan kemiskinan lainnya   yang   termasuk   dalam   klaster   II   yaitu   Program   Pemberdayaan Masyarakat (PNPM).  Termasuk dalam klaster II ini adalah PNPM Pedesaan (PPK),  PNPM   Perkotaan  (P2KP),  PNPM  Infrastruktur  Pedesaan  (PPIP), PNPM Kelautan (PEMP), dan PNPM Agribisnis (PUAP).
Pelaksanaan klaster III yaitu Program  Pemberdayaan Usaha Menengah Kecil (UMK), termasuk di dalamnya Program Kredit UMKM, dan Program   Kredit  Usaha  Rakyat  (KUR).                
Adapun skema penanggulangan kemiskinan seperti pada gambar berikut :

Skema Penanggulangan Kemiskinan  


Sumber :  Imawan (2008 : 2) dalam Iqbal (2008)


Analisa Program BLT
Beberapa dimensi yang harus diperhatikan dalam menganalisa kebijakan kesejahteraan sosial, diantaranya :
1.     Penerima manfaat dari kebijakan kesejahteraan sosial
Kepada siapa kebijakan atau program kesejahteraan ini diperuntukkan. Semua warga negara karus mempunyai kesempatan yang sama dan diperlakukan secara adil.
Penerima manfaat dari BLT 2008 adalah Rumah Tangga Sasaran (RTS) sebanyak 19,1 juta RTS hasil  pendataan BPS,   yang meliputi rumah tangga sangat miskin (poorest), rumah tangga miskin (poor), dan rumah tangga hampir miskin (near poor) di seluruh wilayah Indonesia. Data dasar yang digunakan untuk BLT tahun 2008 adalah data untuk pelaksanaan BLT tahun 2005-2006.
Sementara itu, menurut Martaja yang dimuat dalam Harian Suara Pembaruan edisi 10 Juni 2008, data angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappenas sudah kedaluwarsa, sehingga tak akurat lagi untuk memonitor jumlah penduduk miskin di Indonesia. Analisis penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Tanah Air pascakenaikan harga BBM  2008 bertambah 4,5 juta jiwa, sehingga yang tadi- nya sebanyak 37,2 juta jiwa kini sudah mencapai 41,7 juta jiwa. Penyaluran dana kompensasi BBM ini memang rawan penyelewengan/penyalahgunaan, sehingga banyak keluarga RTS yang tidak mendapat BLT. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gelombang aksi protes dari keluarga RTS serta kericuhan yang bisa terjadi di berbagai tempat.
2.     Ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh penerima manfaat kebijakan kesejahteraan sosial
Perlu adanya penetapan kriteria bagi penerima manfaat seperti status perkawinan, status pekerjaan, kondisi tempat tinggal, jumlah anggota keluarga, tingkat kecerdasan, kondisi kesehatan, usia, latar belakang pendidikan, etnik, gender, status diabilitas, tingkat pendapatan dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan Rumah Tangga Sasaran (RTS) pada program BLT tahun 2008 adalah rumah tangga yang masuk dalam kategori Sangat Miskin (poorest), Miskin (poor) dan Hampir Miskin (near poor). Hanya saja dalam petunjuk teknis penyaluran BLT yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial tahun 2008 tidak dijelaskan secara detail kategori-kategori tersebut diatas seperti apa kondisinya. Sehingga tidak terdapat gambaran yang utuh tentang apa yang dimaksud dengan kriteria yang telah ditentukan bagi penerima manfaat dalam hal ini RTS kategori Sangat Miskin (poorest), Miskin (poor) dan Hampir Miskin (near poor).
3.     Strategi pelaksanaan kebijakan kesejahteraan sosial
Bagaimana cara mendistribusikan atau menyalurkan program kesejahteraan sosial. Dimensi ini akan dipengaruhi oleh siapa yang akan menerima manfaat dari program kesejahteraan sosial dan tipe pelaksanaan seperti apa yang akan didapatkan oleh mereka.
Untuk strategi pelaksanaan penyaluran program BLT tahun 2008 telah dituangkan dalam petunjuk teknis penyaluran BLT yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial tahun 2008 sebagaimana telah kami gambarkan pada deskripsi program di halaman sebelumnya tulisan ini. Mekanisme penyaluran BLT tahun 2008 dimulai dari database RTS 2005/2006 yang dikeluarkan oleh BPS sebanyak 19,1 juta. Kemudian data ini dikirim ke Posindo untuk melakukan pencetakan Kartu Kompensasi BBM (KKB) BLT. Selanjutnya KKB BLT ini dikirim ke kantor pos seluruh Indonesia. Disisi lain Depsos melakukan penyediaan dana BLT yang selanjutnya dana tersebut diserahkan ke kantor pos melalui BRI.  Langkah selanjutnya dilakukan pengecekan kelayakan daftar RTS di tingkat desa/kelurahan oelh kantor pos. Lalu pembagian BLT oleh petugas pos dibantu aparat desa/kelurahan, dalam proses ini ada beberapa ketentuan diantaranya adalah  Membatalkan/menahan kartu bagi RTS yang pindah, meninggal (tanpa ahli waris), tidak berhak (inclusion error); Kartu yang dibatalkan boleh diberikan kepada rumah tangga yang berhak/layak (exclusion error), tidak melebihi yang dibatalkan; Rumah tangga pengganti harus sama atau lebih miskin dari rumah tangga yang telah dinyatakan layak; Jumlah kuota kartu per desa/kelurahan harus tetap/berkurang (total nasional ≤ 19,1 juta); Daftar RTS yang dibatalkan dan penambahan RTS yang baru, harus dilegalisir oleh kades/lurah dan tahapan selanjutnya adalah proses pencairan dana BLT yang dilakukan oleh RTS di kantor pos terdekat dari domisili RTS.
4.     Pembiayaan pelaksanaan kebijaksanaan kesejahteraan sosial
Dimensi ini lebih melihat cara pembiayaan suatu pelaksanaan kebijakan kesejahteraan sosial. Pembiayaan ini juga tergantung dari tingkat/level pemerintah.
Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa Pelaksana  Program  Bantuan Langsung Tunai bagi RTS adalah  Departemen  Sosial selaku  Kuasa  Pengguna Anggaran dibantu oleh pihak-pihak  terkait yang telah ditetapkan dengan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai Untuk Rumah Tangga Sasaran.
Pembiayaan penyaluran dana BLT bersumber pada APBN yang dimasukkan dalam DIPA Departemen Sosial, pada prosesnya Menteri Sosial menunjuk pejabat Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk mengelola anggaran berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).  Selanjutnya PT Pos Indonesia membuka rekening giro utama di Kantor Cabang BRI Jakarta untuk menampung dana BLT untuk RTS dari kas negara atas permintaan Departemen Sosial selaku Kuasa Pengguna Anggaran. Kantor Pos merupakan unit pelaksana teknis PT Pos Indonesia yang ditunjuk sebagai pihak yang menyalurkan dana BLT kepada RTS. . Kemudian kantor pos membuka rekening giro di Kanca BRI untuk menampung pelimpahan dana BLT untuk RTS dari rekening giro utama. Kanca BRI merupakan Kantor Cabang Bank Rakyat Indonesia seluruh Indonesia yang mengelola giro kantor pos yang menampung dana BLT untuk RTS.
Selanjutnya agar suatu kebijakan kesejahteraan sosial dapat berjalan atau didistribusikan dengan baik maka harus menjunjung asas keadilan (justice). Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan :
1.     Equality
Equality menekankan pada kesamaan hak, sehingga kita harus memperlakukan orang dengan sama. Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama dalam mengelola dan memperoleh sumber daya.
Pada pelaksanaan program BLT tahun 2008 ini masih belum memperhatikan equality, hal ini tergambar dari tidak semua kelompok rumah tangga miskin mendapat hak yang sama dalam memperoleh penyaluran dana BLT.  Salah satunya seperti yang dialami warga Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Sumut. Dikabarkan sebanyak 248 keluarga rumah tangga miskin (RTM) di sana tidak mendapatkan BLT (Suara Pembaruan, 3/06/08).
Sasaran dari program BLT tahun 2008 ini hanya sebayak 19,1 juta dimana data tersebut diperoleh dari BPS berdasarkan data pelaksanaan program BLT tahun 2005-2006. Sementara itu menurut Martaja yang dimuat dalam Harian Suara Pembaruan edisi 10 Juni 2008, data angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappenas sudah kedaluwarsa, sehingga tak akurat lagi untuk memonitor jumlah penduduk miskin di Indonesia. Analisis penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Tanah Air pascakenaikan harga BBM  tahun 2008 bertambah 4,5 juta jiwa, sehingga yang tadi- nya sebanyak 37,2 juta jiwa kini sudah mencapai 41,7 juta jiwa.
Munculnya keluarga-keluarga bukan kategori miskin, namun dianggap miskin dan benar-benar bisa menikmati BLT menjadi persoalan lain dalam pelaksanaan penyaluran dana BLT. Ironinya, pada pelaksanaan BLT tahun 2005, banyak kasus telah membuktikan adanya oknum pegawai negeri yang bisa "meraih" BLT lantaran mereka dekat dengan oknum kelurahan atau petugas pencatatan
2.     Equity
Equity menekankan pada memperlakukan orang secara adil/sama. Orang akan mendapatkan reward sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan atau distribusikan pada masyarakat.
Pada pelaksanaan program BLT tahun 2008 ini masih belum memperhatikan equity, seharusnya kelompok RTS sebagai penerima manfaat dari program ini diperlakukan secara adil tanpa ada embel-embel dibelakang perlakuan tersebut, hal ini terlihat dari beberapa kasus penyimpangan yang terjadi pada saat penyaluran dana BLT. Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia  Coruption Watch (ICW), Ratna Kusumaningsih, mensinyalir terdapat 12 kriteria modus  penyimpangan penyaluran BLT tersebut. Belasan kriteria tersebut antara lain, pemotongan dana BLT,  pungutan uang BLT kepada Rumah Tangga Sasaran (RTS), pungutan kupon BLT, pengendapan dana BLT, salah sasaran, dengan melibatkan antara lain, kepala desa, aparat desa, camat  serta  Kantor Pos dan Giro.
Pemotongan BLT berkisar sekitar Rp 10.000 hingga Rp 50.000. Seperti yang terjadi pada 2005, sebagian oknum petugas kelurahan atau aparat desa yang melakukan pendataan telah "menjual jasa"-nya kepada keluarga RTM. Menurut mereka, tanpa campur tangannya maka keluarga miskin setempat tak bisa menerima BLT. Didorong perasaan tidak enak hati, banyak keluarga RTM terpaksa memberikan "imbalan jasa" kepada oknum aparat desa/ kelurahan. Oknum petugas mungkin akan bernegosiasi dengan keluarga RTM, kemudian uang BLT dibagi dua dengan petugas. Model kecurangan semacam ini biasanya dilakukan di balik layar.
3.     Adequacy
Adequacy menekankan adanya keinginan untuk menyediakan suatu standar sistem kesejahteraan sosial dari sisi fisik dan spiritual.
Penyediaan suatu standar dalam pelaksanaan program BLT memang sangat diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan pada saat program tersebut dilaksanakan. Penguatan sarana fisik dalam melaksanakan penyaluran dana BLT harus dilakukan agar tidak terjadi kisruh pencairan dana akibat desak-desakan sehingga menimbulkan friksi baru di masyarakat sehingga emosi yang terjadi. Pada pelaksanaan program BLT tahun 2008 ini pun belum terlihat adanya prinsip adequacy karena faktanya masih terjadi kekisruhan tersebut.
Pada penerapan program BLT tahun 2008 ini tentunya terjadi gap. Diantaranya disebabkan oleh :
1.     Komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah yang tidak lancar
Kekisruhan terjadi pada implementasi program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dikucurkan oleh pemerintah pusat, dimensi kekisruhan lahir tidak hanya di level akar rumput (masyarakat), namun telah meluas menjangkau hubungan kelembagaan pemerintahan, khususnya antara pusat - daerah - (termasuk melibatkan) pemerintahan desa. Trend terbaru berupa penolakan atau keberatan terhadap program BLT, secara mengejutkan, muncul dari internal pemerintahan sendiri, tercermin dari penolakan sejumlah pemerintah kabupaten/kota atas program tersebut. Jikapun tidak menolak, sejumlah kabupaten/kota secara berani mengajukan persyaratan tertentu kepada pemerintah pusat sebelum BLT tersebut dibagikan.
Pada level pemerintahan desa, secara berani dan tegas kepala desa yang tergabung dalam Parade Nusantara menyatakan untuk tidak mau terlibat dalam penyaluran BLT. Alasan keengganan sejumlah pemerintah propinsi, kabupaten/kota dan desa tersebut terutama dikarenakan; 1) basis data masyarakat miskin yang dipandang out of date, 2) kekhawatiran pemimpin politik di tingkat lokal bahwa BLT justru akan merusak pranata di masyarakat dan 3) potensi konflik di tingkat akar rumput yang berimplikasi pada membengkaknya biaya sosial yang mesti ditanggung masyarakat. Trend penolakan dari institusi pemerintahan tersebut sontak membuat pemerintah pusat kalang kabut, hal ini
tercermin dari sikap Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, yang secara eksplisit menyatakan akan menindak tegas pejabat daerah yang menghalang-halangi implementasi program BLT.
Reaksi dari pemerintah pusat yang menanggapi aspirasi sejumlah daerah dengan logika hirarkisme kekuasaan tersebut tentu saja sangat disayangkan dan justru menunjukkan bahwa sistem BLT tersebut sejatinya mengandung potensi kekacauan sistemik. Cara pemerintah pusat memandang bahwa penolakan daerah tersebut adalah bentuk pembangkangan daerah atas pemerintah pusat adalah logika yang keliru. Dalam skema tata hubungan pemerintahan, BLT dan bentuk crash programme lainnya bisa dikategorikan sebagai kewenangan pemerintah pusat yang diselenggarakan di daerah.
Dari sisi lain, upaya penolakan sejumlah pemerintah daerah termasuk pemerintah desa untuk menyalurkan dana BLT kemasyarakat sebenarnya sudah disertai dengan alasan logis, terlebih jika kita melihat bagaimana kekacauan pelaksanaan (implementasi) program BLT sebelumnya (tahun 2005-2006). Hal yang selalu terdengar dari penerapan program tersebut adalah tidak tepatnya sasaran, penelusuran kesalahan selalu berujung kepada tidak akuratnya data keluarga di Indonesia.
Dalam pelaksanaan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) posisi daerah sebenarnya berada dalam kerangka asas perbantuan. Dari sisi sistem dan hubungan kelembagaan pemerintahan, daerah memang memiliki kewajiban untuk membantu pemerintah nasional dalam pelaksanaan sejumlah programnya. Meskipun posisi daerah adalah sebagai pelaksana, namun tetap saja dibutuhkan proses dialogis antara pemerintah pusat dan daerah sebelum sebuah program diimplementasikan. Dialog antar level pemerintahan ini sangatlah krusial, karena bagaimana juga yang akan berhadapan langsung dengan masyarakat bukanlah pemerintah pusat, namun pemerintah daerah.
Kalau kita melihat secara nyata posisi pemerintah daerah dalam skema BLT adalah tidak selalu menguntungkan, karena dijadikan sebagai bemper pemerintah pusat. Dengan demikian, apapun ekses dari implementasi kebijakan BLT adalah pemerintah daerah dan perangkatnya yang akan menerimanya secara langsung. Lebih jauh lagi, dalam sistem hubungan kelembagaan pemerintahan di Indonesia, ihwal ketentuan tentang tugas perbantuan ini masihlah sangat umum. Adalah tidak ada implikasi dis-insentif apapun (misalnya, penundaan DAU dalam kasus APBD bermasalah), jika daerah tidak mau terlibat dalam tugas perbantuan tersebut.
Karena itu sejatinya pemerintah nasional (pusat) juga tidak memiliki instrumen pemaksa dari aspek sistemik. Artinya, kasus penolakan sejumlah kabupaten/kota dan pemerintah desa atas program BLT merupakan cerminan atas masih rapuhnya bangunan sistem dan hubungan antar level institusi pemerintahan di Indonesia. BLT sebagai implikasi dari kebijakan kenaikan BBM memang sangat rawan untuk dijadikan komoditas politik. Karena itu, pemerintah pusat harus menanggalkan sikap terburu-buru untuk implementasinya dan semestinya melihat secara cermat semua aspek yang terkait dengan rencana BLT tersebut. Respons pemerintah pusat atas penolakan atau keberatan daerah harus dipahami dari sudut Pandang alasan-alasannya, yang kemudian ditindaklanjuti secara tepat dan proporsional.
Perlu ditegaskan kembali, adalah keliru ketika pemerintah pusat menganggap penolakan dan keberatan daerah sebagai bentuk pembangkangan yang harus dikenai sanksi. Pemerintah pusat perlu memahami, bahwa trend perlawanan daerah tersebut merupakan cerminan dari kekacauan sistemik yang menjangkiti sistem pemerintahan Indonesia, khususnya dalam konteks hubungan pusat dengan pemerintah daerah/lokal.
2.     Kebijakan yang disusun tanpa melibatkan masyarakat
Penyaluran dana kompensasi BBM ini memang rawan penyelewengan/penyalahgunaan, sehingga banyak keluarga RTS yang tidak mendapat BLT. Oleh karena itu, diperlukan usaha untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya gelombang aksi protes dari keluarga RTS serta kericuhan yang bisa terjadi di berbagai tempat.
Keluarga RTS tentulah kelompok yang paling terkena dampak buruk kenaikan harga BBM, sehingga mudah sekali terbakar emosinya. Betapa tidak, mereka yang selama ini hidup dalam krisis ekonomi berkepanjangan masih harus menghadapi problem ketidakadilan dan diskriminasi dalam proses penerimaan BLT. Karena itu, masyarakat miskin harus benar-benar ditolong. Mereka telah lama mengalami penurunan daya beli secara drastis akibat melonjaknya harga BBM, sembako, dan biaya transportasi.
Untuk itu, dalam menjalankan program BLT pemerintah perlu melibatkan berbagai komponen masyarakat, kalangan independen atau lembaga yang mandiri seperti, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang telah lama menggeluti berbagai masalah kemiskinan. Dengan sikap proaktif dari para aktivis LSM (sekaligus untuk mengawasinya), maka berbagai bentuk penyimpangan program BLT akan dapat ditanggulangi dengan baik.
Kekisruhan yang terjadi bisa diatasi jika sejak awal pemerintah melibatkan kalangan yang sudah memiliki data lengkap tentang angka kemiskinan di setiap daerah. Sebaliknya, tanpa adanya persiapan/pengawasan yang memadai akan membuka peluang terjadinya korupsi yang bisa memicu konflik sosial, gelombang protes, dan amuk massa
3.     Pembuatan kebijakan/program sosial yang terburu-buru
Pelaksanaan program BLT ini tampaknya kurang persiapan baik secara teknis maupun keakuratan data angka kemiskinan di lapangan. Seperti yang dialami warga Tegal Sari Mandala III, Kecamatan Medan Denai, Sumut. Dikabarkan sebanyak 248 keluarga rumah tangga miskin (RTM) di sana tidak mendapatkan BLT (Suara Pembaruan, 3/06/08).
Sementara itu menurut Martaja yang dimuat dalam Harian Suara Pembaruan edisi 10 Juni 2008, data angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bappenas sudah kedaluwarsa, sehingga tak akurat lagi untuk memonitor jumlah penduduk miskin di Indonesia. Analisis penelitian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, jumlah penduduk miskin di Tanah Air pascakenaikan harga BBM  tahun 2008 bertambah 4,5 juta jiwa, sehingga yang tadi- nya sebanyak 37,2 juta jiwa kini sudah mencapai 41,7 juta jiwa.
Sedangkan sasaran dari program BLT tahun 2008 ini hanya sebayak 19,1 juta dimana data tersebut diperoleh dari BPS berdasarkan data pelaksanaan program BLT tahun 2005-2006.
Berdasarkan hasil penelusuran media massa, seperti yang diungkapkan oleh okezone.com edisi 28 Mei 2008, bahwa implementasi BLT tahun 2008 juga tidak luput dari beberapa permasalahan, setidaknya ada lima permasalahan terkait implementasi program kompensasi Bantuan Langsung Tunai (BLT) beranggaran Rp. 14,1 triliun yang digelontorkan pemerintah tahun ini. Beberapa diantaranya, menurut Tim Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Tim P2E-LIPI) adalah:
Pertama, banyak warga miskin yang belum menerima BLT pada tahap pertama 2008 karena belum terdata sebagai penerima BLT. Akbiat lemahnya metodologi dalam validasi data penerima BLT. Saat ini data yang digunakan adalah data warga miskin tahun 2005. Padahal dalam kurun waktu 3 tahun sesudahnya data tersebut belum tentu valid, karena kemungkinan ada warga yang pindah atau meninggal dunia.
Kedua, distribusi kartu BLT sat ini belum merata. Contoh terjadi dipelaksanaan pencairan kartu BLT masih sepi, karena rumah tangga (RTM) belum menerima kartu BLT yang diperlukan untuk mencairkan dana BLT.
Ketiga, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dengan cabang PT Indonesia di daerah. Sejumlah warga miskin di kota Manado, Sulawesi Utara, dan Kota baru Kalimantan Selatan belum menerima penyaluran BLT, karena PT Pos Indonesia di sana menyatakan belum menerima instruksi resmi penyaluran BLT dari pemerintah pusat.
Keempat, pemberian BLT dinilai kurang efektif untuk memecahkan kesulitan warga miskin. Dengan jumlah dana BLT sebesar Rp 100.000,- /bulan tetap saja tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Apalagi jumlah dananya juga tidak bertambah dari tahun 2005 hingga sekarang. Padahal disisi lain tingkat inflasi meningkat dan harga barang-barang kebutuhan pokok juga merangkak naik.
Kelima, program BLT berpotensi menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Sebagai contoh, kata dia, ratusan kepala desa di wilayah III Cirebon menolak kebijakan pemberian BLT sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Berdasarkan pengalaman BLT pada 2005, pembagian BLT selalu. Menyisakan gejolak di masyarakat karena pasti ada warga miskin yang tidak masuk daftar akibatnya melakukan protes ke kepala desa. Melihat permasalahan tersebut, maka sangat wajar bila beberapa pemerintah daerah dan desa menolak untuk mendistribusikan BLT kepada masyarakat.
4.     Ketidaklengkapan infrastruktur, ketika sarana dan prasarana pendukung dari implementasi kebijakan/program sosial tidak lengkap.
Pada penyaluran dana program BLT tahun 2008 logikanya semua keluarga RTS ingin menerima bantuan kompensasi harga BBM itu pada kesempatan pertama. Sementara outlet yang dipakai untuk menyalurkan bantuan ini, yakni Kantor Pos dan Giro, sangat terbatas. Bahkan sebagian daerah jauh dari jangkauannya. Pembagian dana BLT bisa tersendat-sendat akibat ketidakseimbangan antara jumlah tenaga yang melayani dengan jumlah keluarga RTS. Tidak aneh jika banyak terjadi kekisruhan dalam proses pembagian BLT. Pada saat akan mencairkan BLT di kantor pos, kendala yang banyak ditemui adalah banyaknya Kepala RTS yang mengaku kesulitan untuk menunjukkan bukti diri. Selain itu pengambilan BLT juga tidak dapat diwakilkan, ketertiban dalam pengambilan BLT yang kurang sehingga harus berdesak-desakan, jauhnya jarak rumah tinggal dengan kantor pos terdekat serta biaya transpor yang tinggi. Untuk daerah-daerah kepulauan/terpencil memerlukan tambahan sarana prasarana komunikasi, kantor pos atau tempat pembayaran BLT serta dukungan pendanaan yang memadai agar pelaksanaan program BLT-RTS dapat berjalan dengan lancar, khususnya di wilayah Kepulauan Indonesia Bagian Timur (Provinsi Maluku, Papua dan Papua Barat).

Daftar Pustaka
Iqbal, Hasbi. 2008. Implementasi Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai Tahun 2008 Di Kabupaten Kudus, Tesis Program Pascasarjana Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro, Semarang
Departemen Sosial RI. 2008.   Petunjuk Teknis Program Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Sasaran,  Depsos RI, Jakarta.
Imawan,  Wynandin.  2008.  Pendataan  Program  Perlindungan  Sosial  PPLS 2008, Bappenas, Jakarta.
Martaja. 2008. Menutup Peluang Korupsi Dana BLT Plus. Harian Suara Pembaruan edisi 10 Juni 2008
Muhafidin, Didin. 2008. Siasah Dusturiyah Kajian Tentang Implementasi Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai tahun 2008. Lemlit UNPAD

Tidak ada komentar: