Hey kawan, hal itu pun pernah ku rasakan. Mulai dari hinaan sampai pujian. Tetapi itu semua merupakan cobaan. Sejatinya semua kembali pada Tuhan. Pengatur segala kejadian.
Dulu, ketika bisa sekolah di STM Pembangunan senangnya luar biasa. Karena sekolah ini favorit di Jakarta. Tetapi apa daya, lulus sekolah badai krismon melanda. 1998 menjadi legenda. Mencari kerja sungguh susah luar biasa. Ijazah tak laku di dunia kerja, akhirnya teronggok dalam laci meja. Sungguh berat beban menimpa. Sekolah favorit malah menjadi bumerang sebagai senjata. Katanya lulus bisa langsung kerja, cibiran orang serasa mengena. Duhai Allah Yang Maha Kuasa, apa salah hamba? Terbersit pikir kenapa dulu tidak sekolah di sekolah biasa-biasa saja? Ampuni hamba yang penuh dengan dosa.
Berbekal ijazah sekolah yang tak laku di bursa kerja, semangat kembali membara. Kali ini ku coba saja peluang yang ada. Bermimpi kuliah di PTN ternama. Meski harus berjuang belajar materi SMA. Hey, mana ku dapat materi Biologi, Kimia, Fisika, Geografi, Ekonomi di sekolah lama? Bahkan Kimia dan Fisika di sekolah lama diajar hanya formalitas saja. Pun di ajar oleh guru bukan bidangnya. Hanya di pertengahan kelas tiga. Itu pun untuk mengejar nilai EBTA. Pada akhirnya saya hanya dapat nilai tiga koma. Bersyukur masih bisa lulus sekolah. Dan perjuangan pun tak sia-sia. Mimpi kuliah di salah satu PTN ternama menjadi nyata. Unpad, di Jatinangor sana. Walau berbeda dengan bidang pertama, elektronika. Banting stir 180 derajat menjadi Administrasi Negara. Di tahun kedua, mulai dapat beasiswa. Alhamdulillah, rejeki tak kemana. Antara usaha dan doa.
Kuliah lancar dan tepat waktu dalam 4 tahun saja. Lulus dengan predikat tidak bikin kecewa. Cumlaude, orang bilang namanya. Meski diiringi dengan kegiatan bermacam organisasi. Menjadi aktivis mahasiswa. Hanya ingin mendobrak paradigma, siapa bilang aktivis mahasiswa lulusnya lama? Itu tidak terjadi pada saya. Meski hal ini melanda pada beberapa teman aktivis mahasiswa.
Selepas kuliah langsung bekerja. Di sebuah pabrik furniture, bogor area. Olympic namanya. Bagian marketing posisinya. Memang perusahaan punya nama, tapi gaji yang di dapat tidak setara. Cukup hanya untuk bayar cicilan motor, sisanya buat operasional sehari-hari dalam bekerja. Yah sudah, disyukuri saja. Meski tak ada tabungan dari uang gaji tersisa. Impian ingin segera menikah pun menjadi sirna. Sampai bosan dan pekak mendapat pertanyaan yang sama. Kapan menikah atau anak berapa? Jika setiap kali ketemu kolega. Senyum getir tak bisa menjawab, dalam hati seperti tersayat dan luka. Duhai Allah, lagi-lagi dilema. Situasi tak bertahan lama. Cukup dua tahun saja. Sambil tetap bekerja, terus menerus melamar kerja. Harapan untuk mencari lebih baik dari semula. Pada akhirnya usaha terus menerus membuahkan hasil nyata, diterima bekerja sebagai abdi negara. Ketika terima SK seperti tak percaya. Bagai mimpi di siang hari. Jayapura, Papua? Duhai Allah, apa lagi ini? Tetapi ku yakin ini sebuah rencana. Yah, rencana untuk masa depan saya dari Sang Maha Kuasa. Dengan minim informasi, ku beranikan diri terbang menjemput mimpi di bumi cendrawasih. Meski harus diiringi berat hati dari orang tua. Tak ada kerabat, tak ada saudara. Yah sudah, perbanyak teman saja. Itu strategi saya nanti di Jayapura.
Satu tahun sebagai abdi negara, Allah berikan jodoh buat saya. Kenalannya seorang teman kuliah. Ternyata si calon dari Jakarta dan almamater yang sama. Kok bisa ya saya tidak mengenal dia? Hampir sebagian besar teman-teman kuliahnya, saya kenal. Begitu pula sebaliknya dengan teman-teman saya, dia kenal. Uniknya, saya tidak mengenal dia dan dia pun tidak mengenal saya. Hm, jodoh memang unik. Saya memang punya prinsip tidak pacaran sebelum menikah, menghindari dosa. Rasa cocok saat baca biodata. Pertanyaan saya untuk si dia, mau tidak ikut ke Jayapura? Alhamdulillah, jawabannya iya. Setelah menikah, istri langsung ‘isi’. Saat dibawa ke Jayapura, istri pun diterima bekerja. Sama sebagai abdi negara. Dosen di sebuah kampus kesehatan milik pemerintah. Anak pertama kami pun lahir di Jayapura. Alhamdulillah, rejekinya orang menikah. Saat pertama kali ke Jayapura, kami tak punya rumah. Kontrak di rumah petak yang harganya berjuta-juta. Kembali cobaan melanda. Bertetangga dengan orang yang tidak punya etika. Masalah jatah air jadi dilema. Meski kami abdi negara, tetap saja rasa terhina. Digunjing sana-sini oleh tetangga kiri. Doa kami saat itu semoga bisa beli rumah. Allah mendengar doa kami yang terdzolimi. Secara logika matematika tak mungkin beli rumah. Karena harganya ratusan juta. Uang dari mana? Tapi Allah Maha Kuasa. Rumah ratusan juta dibeli harga murah. Meski tak seper pun uang ada dalam genggaman. Berusaha sungguh-sungguh mencari pinjaman. Akhirnya dapat dengan membayar cicilan. Alhamdulillah, Allah memberikan jalan. Tiga tahun sebagai abdi negara sudah terbeli rumah. Meski bukan rumah mewah, hanya rumah sederhana. Padahal banyak orang sudah puluhan tahun tinggal di Jayapura masih belum terbeli rumah. Tak ada lagi orang melecehkan. Apalagi saya dapat beasiswa. Melanjutkan kuliah S2 di UI Jakarta. Meski harus pisah dengan keluarga, demi masa depan kami pun rela.
Alhamdulillah ala kulihal. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Semoga bisa menjadi pelajaran, tentang ujian dan buah kesabaran. Semua akan terasa manis dan indah pada waktunya... J
3 komentar:
Inspiring posting.
Man jadda wajada
terima kasih atensinya..
perjalanan kita sudah digariskan oleh Tuhan.. yang dirangkai dalam kebetulan-kebetulan yang sudah direncanakan...
Jadi, mari menjalaninya dengan semangat, optimisme, cinta, dan keihlasan...
Karena (menurutku), Allah menilai bukan dari hasilnya/capaian hidup kita, tapi dari proses kita menjalani dan mencapainya.. :-)
Posting Komentar